Mengenang Fadli Rasyid, Seniman Multitalenta Asal Jember
Terus Berkarya hingga Maut Menjemput
Sebelumnya, tak banyak yang mengenal sosok Fadli Rasyid yang akrab disapa Mbah Fadli. Seniman multitalenta asal Mumbulsari Jember ini, sejatinya bukan orang baru dalam dunia seni rupa dan seni tulis. Berbagai karya pria yang wafat pada 15 April 2009, pernah dipublikasikan di media nasional. Kecintaannya pada dunia seni tak terbantahkan. Dia masih berkarya hingga maut menjemput.
Oleh ELITA SITORINI, Radar Jember
---
Suara Lintang menggema di teras Gedung PKM Unej. Gadis berambut pendek itu terlihat begitu bersemangat membacakan salah satu puisi karya sang Kakek, Mbah Fadli. Senin (26/10), pukul 19.00, UKM Kesenian Universitas Jember, Puslit Kebudayaan Unej dan Rumah Kata mengadakan pameran karya seni Mbah Fadli. Dan malam itu, merupakan malam pembuka pameran yang akan berlangsung hingga Sabtu (31/10).
Mbah Fadli memang sudah tiada. Namun, semangat pria kelahiran Mumbulsari tahun 1937 itu masih terasa. Tidak saja di kalangan keluarganya, tapi juga teman dan para pencinta dunia seni di Jember, khususnya. Meski, dilahirkan di daerah pinggiran, Fadli kecil tidak patah arang. Menempuh pendidikan terakhir di SGB Bondowoso, Fadli remaja akhirnya memilih jalan hidupnya untuk berkesenian.
Tahun 1962, bisa dikatakan sebagai tahun yang berarti bagi karir Fadli di dunia seni. Saat itu, dia mulai bergabung di Sanggar Bambu, Jogjakarta. Melepas pekerjaan sebagai guru di Bondowoso dan berbekal mimpi serta harapan meraih asa, mulailah sang pemuda ini mendapat gemblengan dari tokoh-tokoh seni.
Sanggar Bambu yang saat ini sudah berusia setengah abad itu, memang banyak melahirkan tokoh-tokoh seni. Tak mengherankan, jika pemuda seperti Fadli, yang tergila-gila pada seni, tergoda untuk meraup pengetahuan dan pengalaman.
Gemblengan di Komunitas Sanggar Bambu membuat jejaknya di dunia seni semakin terang. Tahun 1964, dia pindah ke Jakarta dan ikut berbagai pameran serta berbagai kegiatan seni rupa. Tahun 1970 bersama Thoha Mochtar, Julius Siyaranamual, Trim Suteja dan Asmara Nababan, dia mendirikan majalah anak-anak Kawanku, yang saat ini dikenal sebagai majalah untuk remaja.
Selain sukses dalam berkesenian, Fadli dikenal sebagai sosok yang keras dan disiplin bagi keluarganya. Istrinya, Sri Utami, menuturkan bahwa meski dalam keadaan sakit parah, Fadli tidak pernah berhenti berkarya.
"Pernah dalam keadaan sakit, dia terus melukis. Sampai suatu hari dia tidur dan tidak saya bangunkan seharian, meski banyak yang mencari. Biar dia bisa istirahat," katanya.
Bagi kedua anaknya, Bayu Nilakandi dan Bahana Purba Gempita, sang ayah dikenal sebagai sosok yang penyayang, meski tidak pernah memanjakan. "Beliau tidak pernah menjanjikan memberi kami sesuatu. Kami juga terbiasa tidak meminta, tapi, beliau selalu memberi yang kami butuhkan," terangnya.
Tak hanya itu, perupa yang menghasilkan karya monumental seperti patung Jenderal Ahmad Yani di Jakarta, patung pemanah di Kompleks Olahraga Senayan, relief di salah satu ruang di Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta dan monument Gerbong Maut Bondowoso ini juga sangat sederhana. Dia tidak pernah menyebut dirinya sebagai seniman, meski karyanya sudah bertebaran di mana-mana. "Dia selalu menyebut dirinya seorang petani," terang Sri.
Kesederhanaan dan keinginan untuk berkarya di tanah kelahiran itu, yang membuat Fadli memutuskan kembali ke Mumbulsari Jember tahun 1983. Di tahun itu pula, dia yang sudah berusia 45 tahun, memutuskan untuk menikah dengan Sri Utami yang pada saat itu berumur 25 tahun. Hidup bertani namun masih tetap menulis dan melukis. Sudah banyak karya yang dihasilkan di rumahnya itu.
Pengorbanan dan cita-cita Fadli untuk mengembangkan kesenian di Jember tak pernah lekang. Meski usia beranjak senja, dia masih terus berkarya. Menjelang detik-detik terakhirnya menghirup napas kehidupan, dia menjadikan rumahnya sebagai sebuah sanggar, yang diberinya nama Sanggar Fosil pada 22 Februari 2009.
Sayang, di akhir hayat, masih ada cita-cita yang belum terwujud, yakni membangun monumen untuk pahlawan asli Jember Moch. Sroedji. Bukan karena tidak diusahakan, hanya belum mendapat dukungan dari Pemkab Jember. Padahal, menurut pandangannya, monument itu layak dibangun, karena bisa menjadi spirit untuk mengikis sikap bangsa ini, yang sering melupakan sejarah. (*)