Melihat Perkembangan Seni Rupa Indonesia di FKI-6
Foto: Dok. FKI-6 2009
JAKARTA - Perkembangan seni di Indonesia, sama seperti negara lain, telah memasuki fase kontemporer. Artinya, seni memberi ruang gerak dan ekspresi jauh lebih luas dibanding sebelumnya. Atas perkembangan tersebut, Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-6 di Taman Ismail Marzuki. Temanya 'Exploring Root of Identity'.
Sebagai bagian dari helatan tersebut, Pameran Seni Rupa Kontemporer diselenggarakan dengan melibatkan lima Perguruan Tinggi Seni se-Indonesia. Antara lain, Institut Kesenian Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan STKW Surabaya.
Melina Surya Dewi, Ketua Panitia Pelaksana FKI 6-2009, menjelaskan "Ini merupakan pameran pertama dalam FKI yang menampilkan kurator seni." Setidaknya lima kurator dari berbagai latar belakang dilibatkan untuk menilai karya seni yang dipamerkan.
Di pameran yang berlangsung pada 17-24 Oktober 2009 ini, tak hanya ditampilkan karya seni berupa lukisan patung, tapi juga seni instalasi, keramik, digital printing, komik, hingga fotografi.
Akhir-akhir ini fotografi seni memang makin marak, terutama di Jakarta. Menurut Asikin Hasan, salah satu kurator yang terlibat, "Perkembangan fotografi di Jakarta demikian pesat hanya dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, Jakarta merupakan kota metropolitan dengan begitu banyak orang dan aktivitas di dalamnya."
Pameran ini makin menarik melihat para peserta yang merupakan alumni dari berbagai institusi seni di Indonesia yang kini sedang naik daun. Sebut saja misalnya Ismail yang terkenal dengan komik strip 'Sukribo'. Di sini ia bereksplorasi dengan mengangkat tokoh Sukribo pada media kanvas.
Mikke Susanto, satu dari dua kurator yang hadir, menyebutkan, "Pameran ini menyajikan perkembangan para alumni dari lima Perguruan Tinggi Seni di Indonesia." Artinya, seluruh seniman yang terlibat telah melepaskan identitas institusi masing-masing dan bereksplorasi sesuai kreativitas dan karakter masing-masing.
Tak hanya itu, karya yang tampil diharapkan mampu mewakili isu-isu mengenai keilmuan dan keterampilan (craftmanship), menjadi perpaduan antara apa yang dipelajari di kampus dan dunia luar, serta menjadi media atau jembatan bagi kebutuhan masyaraka
16 DESAINER GRAFIS JEMBER PAMERKAN KARYANYA
16 desainer grafis muda jember, mulai 22 hingga 25 november 2009 memamerkan karya-karya berupa karya seni desain grafis di graha nada, kaliwates, jember.
Para desainer grafis jember yang tergabung dalam komunitas “ sindikat” tersebut, memamerkan sekitar 22 karya dari seratus karya yang terpilih dan dinyatakan layak untuk di pamerkan dalam pameran desain grafis yang bertemakan “ i am is me “.
Dalam karya-karyanya para desainer muda asal kota tembaku ini mencoba menuangkan ide dan pikirannya serta gejolak politik dan budaya yang terjadi di indonesia kedalam karya grafisnya.
Pergeseran nilai budaya yang menjadi hantu budaya yang sangat menakutkan kelanjutan seni dan tradisi budaya bangsa indonesia juga tidak luput dari perhatian para desainer-desainer jember tersebut, seperti yang tertuangkan dalam karya yang berjudul “ kau sebut ini budaya” yang digambarkannya melalui sosok wayang kulit berpakaian bendera bangsa asing.
Koordinator pameran, widi widianto, menyatakan, ajang pameran karya grafis ini bertujuan untuk lebih memperkenalkan desain grafis dan gerakan seni modern ( pop art) ke masyarakat khusunya masyarakat kabupaten jember.
Desain Grafis : Urban Art, Seni Yang Menghampiri Publik Melalui Apa Saja
PENGANTAR BEDAH KARYA CD INTERAKTIF
DAN DISKUSI INDUSTRI KREATIF “URBAN ART”
Desain adalah proses – cara – perbuatan dengan mengatur segala sesuatu sebelum bertindak atau merancang. Grafis adalah goresan yang berupa titik atau garis yang berhubungan dengan cetak-mencetak
Desain Grafis adalah kombinasi kompleks antara kata-kata, gambar, angka, grafik, foto dan ilustrasi yang membutuhkan pemikiran khusus dari seorang individu yang bisa menggabungkan elemen-elemen ini, sehingga mereka dapat menghasilkan sesuatu yang khusus, sangat berguna, mengejutkan atau subversiv atau sesuatu yang mudah diingat. Turunan dari desain grafis dapat bermacam rupa dan salah satunya adalah desain komunikasi visual.
Urban art adalah seni yang mencirikan perkembangan kota, dimana perkembangan itu kemudian melahirkan sistem di masyarakat yang secara struktur dan kultur berbeda dengan struktur dan kultur masyarakat pedesaan. Saat ini seni bukan lagi sekedar berlatar belakang tradisi tapi justru lebih merespon tradisi-tradisi baru terutama di daerah perkotaan yang secara demografis dihuni oleh anggota masyarakat yang sangat heterogen.
Urban art lahir karena adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya. Maka munculah usaha dari sekelompok orang untuk memamerkan dan mendatangkan seni ditengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan kebebasan berekspresi di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui media seni dan dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri. Zaman sekarang seni bukan lagi sebuah representasi yang ditampilkan di galeri saja, tapi sebuah media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lainnya seperti iklan di TV, billboard iklan, poster promosi, baliho dan lain-lain. Semua media ekspresi tersebut mendominasi dihampir setiap fasilitas publik.
Urban art berhasil memangkas hubungan yang berjarak antara publik sebagai apresiator dengan sebuah karya seni. Menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Seni diposisikan sebagai sesuatu yang konservatif dan sarat dengan nilai pengagungan. Urban art berhasil meruntuhkan nilai-nilai tersebut dengan cara menghadirkannya ke tengah publik melalui media-media yang erat dengan keseharian masyarakat kota. Bila menarik elemen lokal dalam urban art, lukisan di bak truk dan becak adalah contoh urban art.
Tujuan urban art lebih berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalisme dan perlawanan terhadap sistem dominan dimasyarakat. Bentuk konkret urban art bisa bermacam-macam sepanjang karya seni itu mengusung spirit dinamika urban. Di kota Jember kita bisa membayangkan akan melihat semua ekspresi semangat urban itu dalam berbagai bentuk. Seperti komunitas musik punk, musik hard core dan musik indie, graffiti dan mural juga mulai menampakkan kemunculan disudut – sudut kota Jember walaupun masih sedikit jumlahnya. Desain grafis pun juga mengikuti dengan berusaha mendekatkan desain grafis itu sendiri kepada publiknya melalui pameran karya, memunculkan nilai-nilai yang lekat dengan seni urban itu sendiri.
Pada akhirnya desain grafis dan nilai urban art itu sendiri akan berhasil dikomodifikasi oleh komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk kesenian terutama desain grafis, seni mural dan grafiti sekarang terutama di kota Jember lambat laun berhasil menjadi sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis. Pada akhirnya terbentuklah creativity ecology : people need creativity – creativity need fredoom – fredoom need market. Saat ini masih merangkak dari komunitas ke komunitas yang mencoba memberi warna pada jember yang selalu indah.
*Sindrom Desain Nekat (SINDIKAT)
Ditulis untuk pengantar diskusi karya dan diskusi “urban art”
Sejarah umum seni lukis
Zaman prasejarah
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna.
Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan (dua dimensi, dimensi datar).
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan obyek-obyek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari obyek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap obyeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam obyek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya.
Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.
Seni lukis zaman klasik
Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
• Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
• Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal.
Seni lukis zaman pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas.
Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".
Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda.
Seni lukis zaman Renaissance
Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ahli sains dan kebudayaan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang.
Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa.
Seni Rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki.
Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.
Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
• Tomassi
• Donatello
• Leonardo da Vinci
• Michaelangelo
• Raphael
Art Nouveau
Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin.
Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam.
Sejarah seni lukis di Indonesia
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda.
Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa.
Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.
Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu.
Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda.
Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.[rujukan?]
Aliran seni lukis
Surrealisme
Lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Pelukis berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.
Kubisme
Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan sensasi tertentu. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Pablo Picasso.
Romantisme
Merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Pemandangan alam adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.
Romantisme dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonial. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Raden Saleh.
Seni lukis daun
Adalah aliran seni lukis kontemporer, dimana lukisan tersebut menggunakan daun tumbuh-tumbuhan, yang diberi warna atau tanpa pewarna. Seni lukis ini memanfaatkan sampah daun tumbuh-tumbuhan, dimana daun memiliki warna khas dan tidak busuk jika ditangani dengan benar. senidaun.wordpress.com
Plural painting
Adalah sebuah proses beraktivitas seni melalui semacam meditasi atau pengembaraan intuisi untuk menangkap dan menterjemahkan gerak hidup dari naluri kehidupan ke dalam bahasa visual. Bahasa visual yang digunakan berpijak pada konsep PLURAL PAINTING. Artinya, untuk menampilkan idiom-idiom agar relatif bisa mencapai ketepatan dengan apa yang telah tertangkap oleh intuisi mempergunakan idiom-idiom yang bersifat : Multi-etnis, multi-teknik, atau multi-style. Yang memperkenalkan konsep seni ini adalah karya seni lukis Wahyu Nugroho. wahyustudio.blogspot.com
Aliran lain
• Ekspresionisme
• Impresionisme
• Fauvisme
• Neo-Impresionisme
• Realisme
• Naturalisme
• De Stijl
Abstraksi
Adalah usaha untuk mengesampingkan unsur bentuk dari lukisan. Teknik abstraksi yang berkembang pesat seiring merebaknya seni kontemporer saat ini berarti tindakan menghindari peniruan objek secara mentah. Unsur yang dianggap mampu memberikan sensasi keberadaan objek diperkuat untuk menggantikan unsur bentuk yang dikurangi porsinya.
Pelukis terkenal Indonesia
• Affandi
• Agus Djaya
• Barli Sasmitawinata
• Basuki Abdullah
• Djoko Pekik
• Dullah
• Ferry Gabriel
• Hendra Gunawan
• Herry Dim
• Jeihan
• Kartika Affandi
• Lee Man Fong
• Mario Blanco
• Otto Djaya
• Popo Iskandar
• Raden Saleh
• S. Sudjojono
• Srihadi
• Sri Warso Wahono
• Trubus
Affandi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
biografi
Hamka Agung balya
Lahir di kota “Tembakau” Jember tahun 1980. Mulai Belajar melukis secara otodidak sejak kecil dan mulai menekuni secara mendalam dunia seni lukis sejak tahun 1997.
Pada tahun 2000 hijrah ke kota “gudeg” Yogyakarta untuk memperdalam dan menimba ilmu dan wawasan seni rupa khusunya seni lukis hingga tahun 2003. Selain belajar dan berkarya, selama di Yogyakarta juga bekerja di sebuah media lokal sebagai penulis lepas rubrik seni rupa dan sekaligus sebagai ilustrator, menjadi pelukis jalanan dan desainer interior freelance.
Agustus 2003 memutuskan untuk hijrah ke pulau “dewata” bali dan bekerja di media lokal di bali sebagai wartawan. Selama di pulau dewata, sering memanfaatkan waktu senggangnya untuk terus menimba ilmu dan memperluas wawasannya dengan mempelajari seni rupa bali dan bergabung dengan komunitas seni rupa yang ada di Denpasar.Bersama rekan-rekannya selain menggelar beberapa ajang pameran lukisan, komik, kartun dan karikatur, juga menerbitkan majalah kartun dan karikatur “ kramotak” yang selalu mengkritisi dunia politik, social, budaya dan dunia seni di bali.
Akhir tahun 2007, memutuskan kembali ke kampung halamannya. Bersama rekan-rekanya yang pernah secara bersama-sama menimbah ilmu di Yogyakarta dan tergabung dalam komunitas “Taring Padi” Yogyakarta, ia mendirikan komunitas keras kepala yang bergerak di dunia seni rupa yang lebih menonjolkan seni kerakyatan ( seni untuk seni dan seni untuk rakyat).
Bersama rekan-rekannya dan para pegiat seni di jember, beberapa kali mengadakan pameran seni rupa lebih sering digelar di luar ruangan dengan tujuan agar lebih muda di nikmati oleh masyarakat umum.
Dan hingga kini selain tetap aktif berkarya, juga bekerja di sebuah media televisi local di Jawa Timur sebagai reporter.
Pengalaman pameran:
1. Pameran seni lukis bersama teras trotoar di depan gedung Soetarjo Universitas Jember (2002).
2. Pameran poster bersama “ Refleksi kemerdekaan RI” di sekitaran monument supersemaer Yogyakarta ( 2003).
3. Painting exhibition V ukmk unej, gedung PKM UNEJ ( 2003).
4. Pameran banner hari bumi di sepanjang jalan Jawa, Tegal Boto, Jember (2003).
5. Pameran kemerdekaan, SAC UNEJ ( 2003).
6. Live painting dies natalis MAHAPALA FE.UNEJ ( 2003).
7. Pameran banner hari tani di bundaran DPDR Jember ( 2003).
8. Pameran seni lukis pembukaan outlet Photot di SAC UNEJ ( 2003).
9. Pameran banner “Perdamaian” di sepoanjang jalan Jawa, Tegal Boto, Jember ( 2004).
10. Pameran seni rupa duet Hamka & Krisna dengan tema “ 2 GANG” di TIKA cafĂ© Jember ( 2004).
11. Pameran bersama komik 100 meter peringatan hari Aids se dunia, dibalai Pemuda Surabaya ( 2005).
12. Pameran bersama se jawa bali “ Antar kota Antar Propinsi” di aula PMI Cab.Jember ( 2006).
13. Pameran komik bersama “Reportase Lidah Anjing” di toko Buku Toga Mas Surabaya ( 2006).
PENGEMBANGAN KESENIAN DAERAH DAN GLOBALISASI
Sebuah konsep menuju ketahanan budaya
HAMPIR bisa dipastikan sebagian besar orang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah bagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan. Kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.
Kebudayaan secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir atau mindset suatu masyarakat (tentang segala perikehidupannya di masa lampau, masa kini dan masa depan), yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dan aneka dimensi kesenian. Demikian pula, kesenian merupakan salah satu wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture). Seperti juga yang diutarakan Meutia Farida Hatta Swasono di Institut Seni Indonesia Yogyakarta beberapa waktu lalu bahwa kemajuan kebudayaan bangsa dan peradabannya membawa serta, dan sekaligus secara timbal-balik dibawa serta, oleh kemajuan keseniannya.
Bagaimana peran kesenian tradisonal dalam konsep ketahanan budaya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu beberapa langkah anternatif. Pertama, perlu mengidentifikasi kesenian-kesenian tradisonal tertentu yang dominan dan sinambung (viable), yang memiliki peluang untuk dikembangkan dan diperkaya, serta dapat menarik munculnya daya apresiasi masyarakat. Kedua, kesenian-kesenian tradisional terpilih diartikulasikan sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial, sehingga mudah beradaptasi dan mendorong kepekaan umum terhadap nilai-nilai keanggunan seni. Ketiga, mendorong dinamika seni menjadi kreasi dan santapan segar untuk kelengkapan kehidupan sehari-hari, menjadikannya semacam way of life.
Kesenian sebagai Nilai Tambah Kultural
Bertolak dari pernyataan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kesenian daerah (tradisonal) adalah pembangunan nilai-nilai seni dan apresiasi seni demi meningkatkan kemartabatan seniman dan masyarakat. Dalam pembangunan nasional, idealnya kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional memperoleh maknanya dalam kaitan dengan pemahaman dan apresiasi nilai-nilai kultural. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka pembangunan nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”.
Pakem-pakem kesenian (lokal dan nasional) pada dasarnya tetap diperlukan, karena ia berakar dalam budaya masyarakat. Akan tetapi, ia dimungkinkan untuk dekomposisi, rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan. Sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, perlu juga dikembangkan demi mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni. Di sinilah awal dari kesenian daerah menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural” masyarakat.
Di sisi lain kita harus menyadari bahwa kesenian daerah (tradisional) pada dasarnya adalah anonim. Bahkan, lebih jauh lagi ia juga tak bisa dibatasi atas klaim wilayah. Ia menjadi tak terbatasi oleh garis yang pasti (borderless). Untuk itulah, jika kesenian ditempatkan sebagai sarana menciptakan ketahanan budaya suatu bangsa maka persoalan makna ketahanan budaya tersebut harus disikapi sebagai ketahanan nasional.
Studi kasus masyarakat Jawa di Jawa Tengah misalnya, selama ini ia sedang berusaha memelihara eksistensi dan soliditas sosialnya untuk tidak kehilangan kesadaran diri, tidak kehilangan jatidiri, harga diri, atau pun sejarah peradabannya. Eksistensi dan soliditas warga masyarakat ini akan terjaga dengan baik jika pengembangan seni mampu memperkukuh kesadaran diri dan jatidiri kita sebagai bangsa yang anggun dan beradab.
Seumpama kesenian dapat dianalogkan dengan ekonomi misalnya, maka pembangunan ekonomi yang bermakna sebagai upaya untuk meningkatkan “nilai-tambah ekonomi”, maka pembangunan kesenian dan kebudayaan akan bermakna sebagai upaya meningkatkan “nilai-tambah kultural”. Nilai tambah kultural pada dasarnya juga memuat makna nilai-tambah kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jatidiri dan nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti. Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dicita-citakan oleh kemerdekaan bangsa ini, yaitu cita-cita untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah makna yang berdasarkan pada konsepsi iptek atau pun konsepsi biologi-genetika, melainkan merupakan suatu konsepsi budaya. Dengan demikian “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan upaya untuk meningkatkan kekayaan batin, meningkatkan kadar budaya bangsa, kadar kemadanian, sebagai suatu proses humanisasi mencapai keadiluhungan yang mengungguli basic instincts, untuk mengangkat harkat dan derajat insani dari bangsa kita.
Ketahanan Budaya dan Globalisasi
Memang harus diakui bahwa ancamanan globalisasi tak bisa dihindari. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Untuk itu, perlu kita kemukakan bahwa proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam “clash of civilizations”, dan – meminjam istilah Samuel Huntington – juga dapat mengakibatkan perusakan berat terhadap peradaban. Kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness), tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Dalam pengertian ini, jelas bahwa bila kita bicara mengenai ketahanan budaya, pada dasarnya kita berbicara pula mengenai pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.
Harus diakui, globalisasi memiliki banyak pengertian. Globalisasi semacam penciutan dunia. Mereka mengistilahkannya sebagai kampung global. Sebagian lagi berpandangan, globalisasi adalah penyatuan dunia. Namun pengertian ini bukan berarti penyeragaman budaya. Yang jelas hingga kini, sebagian besar ilmuan masih berselisih pendapat soal pengertian globalisasi. Bahkan definisi yang mereka ajukan masih menyisakan banyak ketidakjelasan.
Namun demikian, setidaknya ada dua perspektif utama mengenai globalisasi. Perspektif pertama berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat global. Seluruh budaya lokal akan digerus dalam proyek globalisasi sehingga pluralitas yang ada akan berujung pada sebuah tatanan tunggal. Perspektif ini lahir dari pandangan yang berkembang di kalangan pemikiran dan politisi Barat, khususnya pada abad ke-18.
Globalisasi dalam pengertian mereka, semacam ruang dua kutub mengenai isu identitas budaya, sosial, dan nasional, sedang di sisi lainnya mereka melontarkan ide pemusnahan identitas lokal. Dengan mencermati perkembangan dalam beberapa dekade terakhir ini, tampak jelas adanya upaya para politisi negara-negara Barat, semacam AS berusaha menyeret dunia menuju tatanan tunggal berdasarkan nilai-nilai Barat. Sebagian besar ilmuan bahkan menyebut model globalisasi kultural semacam itu sebagai imperialisme budaya yang lebih terkesan nyata di lingkungan media massa dan seni. Sebagai contoh, acara-acara televisi, filem, dan musik pop merupakan perangkat utama imperialisme budaya. Dengan demikian, seni bisa menjadi perangkat paling efektif di berbagai bidang yang bisa membantu para perancang globalisasi kultural merealisasikan ambisinya.
Perspektif kedua, globalisasi berseberangan nyata dengan perspektf pertama. Berdasarkan pandangan kelompok kedua ini, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan seni lokal. Mereka berpendapat, meski dunia saat ini sedang mengalami proses globalisasi, namun bangsa-bangsa dunia tidak menyerah begitu saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin menguat.
Seorang peneliti asal India, Doktor Abhay Kumar Singh pernah mengatakan: “Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencana bagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang terbilang kaya dari segi budaya. Seni makin maju hingga mempengaruhi dunia. Sejarah membuktikan bahwa di berbagai masa, seni peradaban Iran, India, dan Romawi telah tersebar hingga ke negeri-negeri yang jauh. Masalah seperti itu bisa terulang kembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha dan tahu bagaimana seni bisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal”.
Perspektif yang kedua tentang globalisasi ini mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke-20. Hingga masa-masa awal millenium ketiga, perdebatan soal globalisasi masih belum juga usai. Para pakar dan peniliti sosial masih asyik berwacana tentang perangkat dan pengaruh globalisasi terhadap budaya dan seni masyarakat. Makin berkembangnya teknologi infomasi, komunikasi, dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia di awal abad ke-21 membuat batas-batas geo-politik negara tak lagi berperan penting. Kekhasan utama abad sekarang adalah begitu cepatnya proses pertukaran informasi. Karena komunikasi elektronik berjalan setiap saat yang menyambung berbagai ruang yang terpisah seakan menyatu. Jaringan komunikasi global telah menjadikan manusia berkuasa untuk mengalami dunia sebagai satu unit.
Dunia saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada. Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan bisa diminimalisir dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi dan hegemoni kekuatan adidaya.
Tentu globalisasi, selain harus kita waspadai, juga harus kita lihat sebagai kesempatan-kesempatan baru. Kita harus proaktif di dalamnya. Di situ kita harus “go global” dengan local specifics Indonesia, sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai aktor tangguh dalam proses globalisasi, baik dari aspek budaya maupun dari aspek keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari perkembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia.
Semarang, Juli 2009
Dimensi Budaya dalam Situasi konflik
Dimensi Budaya dalam Situasi konflik | | | |
Written by I MADE BANDEM |
Seperti diketahui bersama, bahwa kita semua kini berada dalam ruang yang demikian luas berbingkai globalisasi. Segala macam peristiwa dan perubahan yang tengah bergulir di manapun, melibatkan siapapun, dapat kita nikmati saat itu juga. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas dan kendala komunikasi. Teknologi komunikasi yang semakin canggih, semakin melapangkan persilangan informasi dan komunikasi hingga ruang-ruang privasi setiap orang. Sedemikian jauh kita didorong untuk memasuki lorong waktu dan peristiwa yang nyaris tanpa batas. Bersamaan dengan itu, kita juga didorong untuk masuk dan berada dalam berbagai putaran arus, kecebderungan, selera, dan tanda-tanda yang beragam. Pendeknya, kita berada dalam ruang budaya yang beragam (pluralisme budaya). |