Dimensi Budaya dalam Situasi konflik

Dimensi Budaya dalam Situasi konflik

Written by I MADE BANDEM

Seperti diketahui bersama, bahwa kita semua kini berada dalam ruang yang demikian luas berbingkai globalisasi. Segala macam peristiwa dan perubahan yang tengah bergulir di manapun, melibatkan siapapun, dapat kita nikmati saat itu juga. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas dan kendala komunikasi. Teknologi komunikasi yang semakin canggih, semakin melapangkan persilangan informasi dan komunikasi hingga ruang-ruang privasi setiap orang. Sedemikian jauh kita didorong untuk memasuki lorong waktu dan peristiwa yang nyaris tanpa batas. Bersamaan dengan itu, kita juga didorong untuk masuk dan berada dalam berbagai putaran arus, kecebderungan, selera, dan tanda-tanda yang beragam. Pendeknya, kita berada dalam ruang budaya yang beragam (pluralisme budaya).

Pluralisme budaya yang kini lebih populer dengan istilah ‘multikulturalisme’ adalah sebuah lautan idiologi yang memperoleh perhatian besar dari kalangan para teoritisi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh luasnya permasalahan yang harus diseberangi, mulai dari kebijakan imigrasi, resolusi konflik, dan hukum internasional, sampai kepada penelitian arkeologi, penciptaan seni dan kebijakan pendidikan. Multikulturalisme mengibarkan bendera pertukaran dan pemahaman antar budaya. Istilah ‘multikulturalisme’ menujukkan keanekaragaman budaya yang memungkinkan untuk hidup bersama, bukan membentuk sin qua non apa artinya hidup sebagai manusia.
Dalam tatanan yang agak berbeda, namun memiliki kenyataan yang rasional, multikulturalisme menjadi pencaharian yang amat panjang mengenai hak keseimbangan yang tidak tampak antara kebenaran mayoritas dan kebenaran minoritas. Hal ini sering dipahami sebagai kesenjangan pusat dan daerah, nasionalisme dan etnosentrisme, sentralisasi dan desentralisasi, yang berakibat terhadap kurang harmonisnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika telah diakui sebagai gerakan dengan haknya sendiri, multikulturalisme menawarkan jembatan sejajar bagi kelompok-kelompok yang berbeda budaya untuk hidup bersama.

Makalah singkat yang diberi judul “Seni dalam Perspektif Kebudayaan” akan membahas dua hal pokok yaitu mengenai hakikat seni yang terkait dengan pluralisme budaya; dan pendidikan seni sebagai sebuah strategi untuk hidup bersama.

Kebudayaan menunjuk kepada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan memiliki, ide, bentuk dan prilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 (tujuh) unsur pokok yaitu sistim kepercayaan, bahasa, sistim ekonomi, sistim sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreativitas dalam hal olah imaji dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau, dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertian yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.

Sebagai penampilan ekspresif dari penciptanya, seni mempunyai hubungan yang erat dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Isi dan bentuk seni tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam 7 (tujuh) unsur pokok kebudayaan di atas. Tema-tema seni berakar pada nilai-nilai agama, organisasi sosial, sistim teknologi, sistim pengetahuan, bahasa, dan sistim ekonomi. Secara umum seni dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu seni pertunjukan (tari, karawitan, pedalangan, musik, pencak silat, dan teater); seni rupa (lukis, patung, kriya, desain, instalasi dan arsitektur); seni sastra (puisi dan prosa); dan seni sinematografi (film, video dan animasi).

Dilihat dari sudut demografi, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis, bahasa, dan seni sudah lama menjadi sebuah masyarakat dengan pluralisme budaya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami difusi kebudayaan sejak berabad abad yang lampau. Kepulauan ini pernah dihuni oleh berbagai jenis ras seperti manusia Pithecanthropus Erectus (Homo Soloensis), Austro Melanesoid, Mongoloid, Proto Melayu, dan lain-lain yang semuanya meningalkan sisa-sisa kebudayaannya sampai sekarang. Agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik juga memberi warna dan corak kepada kebudayaan Indonesia yang ada sekarang. Belum diperhitungkan pengaruh kebudayaan Barat yang sedikit banyak menjadikan kebudayaan Nusantara lebih plural dan unik. Menurut C.A. van Peursen Indonesia kini masih memiliki kebudayaan majemuk yang bersifat mistis, ontologis dan fungsional.

Sungguh ironis ketika pada kenyataannya bahwa apresiasi, pemahaman, dan interaksi tentang keragaman budaya itu belum sepenuhnya menjadi keniscayaan. Tidak banyak anggota masyarakat yang memahami arti penting dari pluralisme budaya, dan tidak banyak pula anggota mayarakat yang meyakini bahwa kita bisa hidup bersama dalam keragaman budaya. Sementara itu kontak sosial budaya antar warga negara Indonesia yang mempunyai latarbelakang keragaman budaya sudah menjadi lebih intensif. Demikian pula bahwa kontak dengan budaya asing telah dipercepat oleh adanya sistim komunikasi canggih. Semua persoalan ini merupakan masalah yang esensial dalam pembahasan mengenai seni dan pluralisme budaya, atau secara makro adalah seni dalam perspektif kebudayaan. Selanjutnya akan digambarkan interaksi antara seni dengan unsur-unsur budaya yang lain, sekaligus menyatakan betapa pentingnya nilai-nilai budaya sebagai hakikat dan isi dari sebuah karya seni. Kemudian berikutnya akan dibahas pula tentang kebijakan dalam hal pembinaan atau pendidikan seni di Indonesia.
Interaksi antara seni dan agama sudah lama menjadi kenyataan. Agama merupakan sumber etika dan moralitas. Seni adalah salah satu wahana yang paling tepat untuk mempromosikan kehidupan agama. Simbol-simbol agama disosialisasikan lewat pameran dan pementasan seni. Pameran dan pementasan karya seni Bali misalnya sering mendramatisasikan kehidupan agama Hindu. Pendidikan etika dan moralitas dilakukan lewat pementasan dan pameran karya seni. Di Indonesia masih banyak terpelihara seni sakral, seperti tari Belian di Kalimantan Timur, Selawatan di Jawa, Sang Hyang di Bali, Kuda Lumping di Jawa Barat, Reog di Jawa Timur. Semuanya memiliki nilai budaya yang dapat memberi pencerahan etika dan moralitas.

Seni memiliki nilai demokrasi yang kental. Inspirasi, aspirasi dan dialog muncul ketika seni dalam proses penciptaan. Dipandang dari prilaku masyarakat, proses penciptaan seni biasanya melibatkan dialog dan interaksi antar seniman. Gamelan adalah salah satu bentuk seni Nusantara yang menyimpan nilai-nilai demokrasi. Masing-masing instrumen dalam gamelan memiliki bentuk, fungsi dan teknik permainan yang berbeda. Permainan gamelan tidak saja menuntut adanya kemampuan individu yang kuat, tetapi juga membutuhkan interaksi kolektif yang mantap. Koordinasi antar pemain satu dengan lainnya adalah kunci keberhasilan sebuah pentas gamelan. Nilai ini kurang dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di Amrika Serikat, Jepang, Australia dan Eropa, gamelan sudah lama dijadikan bagian dari kurikulum universitas-universitas besar, sebagai manifestasi pendidikan pluralisme budaya.

Seni dalam semua jenis dan sifatnya tak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Pemahaman tentang fungsi lingkungan hidup sebagai tempat berlindung, mencari nafkah, dan mencari identitas sering dilukiskan dalam seni rupa maupun seni pertunjukan. Keindahan flora dan fauna Indonesia sering dijadikan tema bagi sejumlah seniman. Pelukis Wakidi sering mengolah panorama Sumatera Barat (Ngarai Sianok), atau Abdoellah Soeriosoebroto dengan pemandangan di Jawa. Ahmad Tohari lewat sejumlah novelnya (Ronggeng Dukuh Paruk) yang piawai melukiskan detail-detail alam pedesaan Jawa (Banyumas). Atau pelukis Edvard Munch, juga Vincent van Gogh sering melukis lanskap negerinya, Norwegia dan Belanda, dan akhirnya menjadi identitas keduanya (identitas kepelukisan Munch maupun van Gogh, maupun identitas Norwegia dan Belanda). Keindahan flora dan fauna Indonesia dan Tri Hita Karana merupakan nilai keseimbangan antara manusia dengan alam lingkungan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sering menjadi tema sentral karya seni.
Sejak Indonesia diakui sebagai negara kesatuan yang merdeka, hak individu diperhatikan. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak untuk mendapat keadilan, hak untuk hidup sejahtera dan lain sebagainya. HAM sampai saat ini masih menjadi persoalan yang tak pernah terselesaikan. Pertentangan antar etnis, suku, dan golongan terus berkembang dan tak pernah terselesaikan melalui hukum yang jelas. Para seniman mengangkat masalah-masalah HAM sebagai isi karya seni. HAM merupakan sebuah nilai kehidupan yang mutlak menjadi perhatian seluruh bangsa.

Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Di Jawa disebut desa mawa cara, sedangkan di Bali disebut desa kala patra. Hal ini diartikan sebagai penyesuaian diri dengan tempat, waktu dan keadaan. Disini seni diperlukan sebagai potensi untuk mengembangkan diri sendiri. Menerima suatu keadaan keragaman dalam keseragaman atau suatu perbedaan dalam kesatuan. Konsepsi ini memberi landasan yang luwes dalam hubungan ke luar maupun ke dalam, dan menerima perbedaan dan variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan.
Nilai atau konsepsi sejenis ini sangat beragam jenis dan sifatnya. Di seluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada berapa jenis nilai seperti tersebut di atas yang dapat diangkat sebagai tema karya seni. Di antara nilai-nilai itu termasuk prinsip rukun, prinsip hormat, prinsip mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning bangsa, adigang adigung adiguna (sikap yang sombong), aja dumeh (jangan sok), ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu).

Demikian pula di daerah Sumatra, dalam khasanah sastra Indonesia misalnya, kita mengenal berbagai novel yang bertemakan tentang kebangsawanan, kepahlawanan, kejujuran, percintaan, kesedihan, dan keagamaan yang semua dilatarbelakangi oleh kondisi sosio kultural dan sosio politik yang berkembang dalam masyarakat.
Akhirnya, nilai-nilai yang dibicarakan di atas merupakan nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan lokal, kebudayaan daerah, kebudayaan nasional, bahkan dalam kebudayaan internasional yang membentuk kebudayaan nasional Indonesia. Dengan demikian seni sebagai produk kebudayaan, terus-menerus dihadapkan secara diametral dengan beragam persoalan kebudayaan semacam itu. Persoalan kini adalah dibutuhkan aksi dan langkah yang jelas bagaimana menciptakan agar bangsa ini bisa peduli, hormat, dan memahami nilai-nilai keragaman budaya tersebut. Sejumlah langkah mesti dilakukan. Salah satu diantaranya adalah menjadikan seni dengan pluralisme budaya sebagai strategi pendidikan untuk hidup bersama.

Pendidikan merupakan social reproduction, menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peranan pendahulunya. Pendidikan, khususnya pendidikan dasar, sepantasnya mengutamakan pendidikan kepribadian. Di samping mempelajari hal-hal yang bersifat akdemis, pembekalan kepribadian penting artinya untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apapun. Pembekalan kepribadian dapat dilakukan mulai dari rumah, sekolah dan masyarakat. Kerja kelompok dan demokrasi dapat dimulai dengan pelajaran olahraga dan kesenian.
Di samping masalah kepribadian dalam pendidikan untuk hidup bersama dibutuhkan adanya law and order. Penegakan dan tertib hukum adalah kunci untuk sukses. Oleh sebab itu perlu adanya rule of law dan law enforcement, serta HAM yang pelaksanaannya dijamin dan dilindungi oleh undang-undang tanpa diskriminasi.
Kecuali penegakan hukum, kepemimpinan (leadership) dalam pendidikan untuk hidup bersama merupakan faktor yang menentukan keberhasilan. Kepemimpinan pada semua tingkat memerlukan kompetensi, cara pandang, sikap dan prilaku yang tidak diskriminatif, berkeadilan, dapat mengakomodasikan fikiran semua pihak, konsisten, sehingga merupakan contoh yang baik dalam hidup bersama dalam perbedaan.

Peter M. Senge, seorang ahli manajemen dari Amerika Serikat menyatakan bahwa paradigma untuk hidup bersama dalam memajukan sebuah perusahan ditentukan oleh adanya personal mastery, keahlian pribadi dimana seseorang patut memiliki ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang tinggi; system thinking, berfikir secara sistemik yang mampu membuat seseorang hidup teratur; team learning, suatu tim pembelajaran bersama secara kukuh; shared vision, penetapan visi bersama atas dasar visi masing-masing; dan mental model, suatu mental yang dapat membangun mutual care, mutual understanding dan mutual respect. Semua keahlian ini terdapat pula dalam manajemen penciptaan karya seni.

Pendidikan untuk hidup bersama dalam keragaman budaya memerlukan sebuah konsep dinamakan belief system. Orang tua dalam keluarga sejatinya memiliki pemikiran tentang pendidikan dan perkembangan anaknya. Dalam mengasuh, merawat, membesarkan, mendidik, dan mengarahkan anaknya benar-benar sesuai dengan fikiran, pengalaman, dan budaya yang dimiliki. Pancasila sudah menjadi falsafah bangsa Indonesia, merupakan bilief system dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar dan fundamental untuk menata dan membangun kehidupan bermasyarakat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Millenium Summit 2000 telah mendeklarasikan hal-hal esensial yang berhubungan dengan kehidupan bersama bangsa-bangsa dengan menuangkan nilai-nilai dasar yaitu freedom, equality, solidarity, tolerance, respect for nature, dan shared responsibility, yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu perlu dikembangkan dan disosialisasikan sedini mungkin sebagai bagian dari pendidikan untuk belajar hidup bersama.

Persoalan yang muncul ketika melaksanakan pendidikan untuk hidup bersama dalam keragaman adalah masalah guru, kurikulum, sarana pembelajaran, dan metodologi pengajaran. Di Amerika Serikat dalam rangka mengembangkan pendidikan multikultural yang disebut Teaching Art From A Global Perspective (Pembelajaran Seni dari Perspektif Global), Eric Digest mengajukan beberapa tingkat pelaksanaan pendididkan seperti pembelajaran seni dalam konteks multinasional, pembelajaran seni dalam konteks multikultural, pembelajaran seni dalam konteks komunitas, dan pembelajaran seni dalam konteks global. Setiap tingkat memiliki cara dan pelaksanaan yang berbeda dan materi pendidikan yang berbeda pula. Disinilah pentingnya penyiapan bahan pelajaran seni yang terkait dengan pluralisme budaya.

Aksi lain yang dapat dilakukan untuk peningkatan pemahaman, penghormatan, dan kepedulian bagi pluralisme budaya adalah kegiatan kreativitas yang disebut sebagai Kolaborasi Seni. Indonesia memiliki budaya yang sangat majemuk untuk melaksanakan kreativitas ini. Setidaknya terdapat 931 suku bangsa, 600 bahasa lokal, dan ratusan jenis dan gaya seni yang tersebar antara Sabang dan Merauke. Kolaborasi Seni dapat dilakukan antar satu budaya dengan budaya lain di tanah air (intrakultural), dan kolaborasi seni antar budaya di tanah air dengan budaya negara lain (interkultural).

Sardono W. Kusumo, seorang penari Jawa klasik, dan tokoh tari Kontemporer Indonesia mengadakan kolaborasi seni dengan masyarakat Bali di Teges Kanginan pada tahun 1971. Dengan wawasan seni Jawa dan tari kontemporer yang luas, Sardono tinggal di Bali selama 6 bulan, mengadakan eksplorasi, percobaan-percobaan untuk membentuk sebuah tari kreasi baru yang kemudian dinamakan Cak Rina. Tari Kecak yang telah memiliki bentuk yang mapan, diobrak-abrik oleh Sardono, dimasukkan gagasan tentang tari modern seperti konsep chance, total theatre, improvisasi, dan berbagai jenis konsep global lainnya. Para penghulu agama ikut menari di dalamnya dan anak-anak kecil telanjang bermain dengan play instinct menjadi bagian menonjol dalam tari Kecak Rina. Anggota masyarakat dari Teges Kanginan merasa memperoleh pengetahuan baru untuk mengembangkan keseniannya. Sebaliknya para pejabat dan otoritas kesenian Bali yang bernama Listibiya menjadi geram dan marah atas kreasi itu. Sardono dituduh mendesakralisasikan kesenian Bali. Media lokal mendukung Listibiya dan terjadi polemik dan wacana yang cukup panjang mengenai peristiwa itu. Kecak Rina dibawa ke Eropa. Kantor Imigrasi di Bali menolak memberi paspor. Tetapi Sardono memperoleh ijin ke luar negeri dari Kantor Imigrasi di Semarang. Pementasan Kecak Rina berhasil dengan sukses di Eropa. Media Eropa memberi acungan jempol atas kreasi yang unik itu.
Bilamana dilihat dari sudut pandang plurisme budaya dan intrakultural, Sardono dengan kreasi itu telah membangun sebuah demokratisasi dalam kesenian. Menyebarkan gagasan kontemporer bagi seniman Bali, menambah wawasan akan pentingnya budaya lain untuk dipelajari dan dipahami. Masyarakat Bali bangkit dan terpicu oleh peristiwa itu. Mereka mengangkat bicara dan memberi kritik terhadap kreasi semacam itu. Melalui wacana itu apreasi masyarakat Bali makin meningkat mengenai makna pluralisme budaya dan gagasan seni kontemporer. Kini Sardono diterima sebagai warga masyarakat Bali dan menjadi panutan di desa Teges Kanginan. Mereka terus berkreasi dan tahun 1974 Sardono kembali mengemparkan Prancis dan Italia dengan karya seni berjudul Wanita dari Dirah. Karya itu diciptakan berdasarkan dramatari Calonarang Bali, dipentaskan oleh masyarakat Teges Kanginan dengan penari-penari kawakan dari Bali dan Jawa. Sardono tidak lagi mengalami masalah imigrasi, dan Listibiya memberi rekomendasi atas perlawatan mereka. Hal ini mempunyai arti bahwa kolaborasi seni membawa dampak positif terhadap kreasi seni yang berdasarkan plurisme budaya.

Mantle Hood, seorang ahli musik bangsa-bangsa dari Amerika Serikat mempelajari musik Jawa selama 2 tahun di Yogyakarta, dari tahun 1954-1956. Sesudah menyelesaikan Ph.D.nya di Amsterdam (Belanda), Mantle Hood kembali ke Amerika Serikat untuk membangun Institut Etnomusikologi di Universitas California at Los Angeles (UCLA). Sebagai Direktur dan dosen pada Institut itu, Mantle Hood mewajibkan mahasiswa yang mengambil M.A. dan Ph.D. dalam bidang Etnomusikologi mempelajari gamelan Jawa dan Bali sebagai bahasa musik yang ke dua. Untuk mengajar gamelan Jawa dan Bali pada saat itu, Mantle Hood mengundang Hardja Susilo dari Yogyakarta dan Cokorda Agung Mas dan I Wayan Gandra dari Bali. Sambil mengajar gamelan, Hardja Susilo disekolahkah oleh Mantle Hood dan kini dia menjadi guru besar musik di Universitas Hawaii. Semua mahasiswa doktoral tamatan UCLA mengembangkan gamelan Jawa dan Bali. Gamelan menjadi bagian kurikulum penting dalam mempelajari budaya lain di Amerika Serikat. Pada saat ini terdapat lebih dari 400 kelompok gamelan yang berkembang di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Jepang.

Hasil rumusan The First International Gamelan Festival and Symposium di Vancouver (Canada) pada tahun 1986, mencatat 6 (enam) jenis gamelan yang berkembang di luar negeri saat itu. Kelompok-kelompok itu adalah (1) Kelompok gamelan tradisional yang memainkan lagu-lagu tradisional maupun kreasi baru. Mereka menggunakan alat-alat gamelan tradisional seperti yang dilakukan oleh Kelompok Gamelan dari Wesleyan University, Sekar Jaya dan Gamelan Boston. Kelompok ini tertarik dengan pengalaman estetis dan keinginan untuk memahami nilai-nilai budaya lewat gamelan; (2) Kelompok yang menggunakan gamelan tradisional untuk memainkan komposisi baru berdasarkan musik kontemporer Barat dan menggunakan sekelumit konsep gamelan seperti ostinato dan struktur kolotomik, dipertunjukkan oleh gamelan Dharma Budaya dari Kyoto, dan Gamelan Son of Lion dari New York; (3) Kelompok yang menggunakan instrumen sejenis gamelan untuk memainkan komposisi modern berdasarkan alat-alat tradisional seperti gamelan Si Betty of San Jose State University; (4) Klompok yang menggunakan alat-alat baru menyerupai gamelan guna memainkan musik kontemporer seperti gamelan Pacifica of Seatle, the Berkeley Gamelan, dan the Bay Area New Gamelan; (5) Kelompok yang menggunakan segala peralatan bunyi untuk memainkan musik avangarde, seperti penampilan Banjar Gruppe Berlin dari Jerman; dan (6) Kelompok yang menggunakan instrumen musik Barat untuk memainkan komposisi baru dalam gamelan seperti komposisi oleh Claude Debussy, Colin McPhee, and Jose Evangelista.

Secara pribadi, saya memiliki juga pengalaman yang cukup unik dalam membangun interkultural dengan para ahli teater di Eropa dan Asia, dimana sejak tahun 1980-an saya bergabung dengan International School Theatre Anthropology (ISTA) yang didirikan oleh Eugenio Barba, membangun sebuah Eurosian Theatre, menggabungkan para penari dari India, Bali, Jepang, China dan Odin Teatret dalam menciptakan sebuah karya kreatif yang disebut Theater Mundi. Kegiatan berupa lokakarya dan pementasan berlangsung nomaden dari satu negara ke negara lain untuk mendekatkan diri dengan lingkungan setempat. Kegiatan yang semula berlangsung di Bergamo (Italia) berpindah tempat ke Denmark dan terakhir melakukan aktivitas di desa Londrina (Brasil).

Dewasa ini kolaborasi seni seperti di atas, makin banyak terjadi dan berbagai program diciptakan oleh komunitas-komunitas tertentu.I Wayan Dibia (Bali) dan Keith Terry (USA) berkolaborasi membangun Body Cak berunsurkan budaya Bali dan Amerika Serikat menyebabkan decak kagum penonton di Amerika Serikat dan Bali. Demikian pula kerjasama antara Putu Wijaya dan Fredrik deBoer di Wesleyan University dan pementasan-pementasan Putu Wijaya di La Mama New York menunjukkan betapa besar kontribusi teater Bali terhadap perwujudan pluralisme budaya. Edi Sedyawati dalam posisinya sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan pada tahun 1995 menciptakan sebuah kegiatan tiga tahunan yang dinamakan Art Summit Indonesia. Forum ini merupakan sebuah arena interkultural yang semakin waktu semakin melembaga dan kegiatannya meliputi kegiatan tari, musik, teater dan kini mengarah kepada pelibatan seni rupa. Seniman-seniman kaliber dunia berkumpul di Jakarta, mempergelarkan karya-karya puncak, membangun dialog, termasuk mendiskusikan kontribusi seni Indonesia di dunia internasional.
Di lain pihak dalam sekala mikro, barangkali dapat disebut sebagai upaya meberdayakan kantung-kantung budaya. Upaya memberdayakan kantung-kantung budaya dapat dipahami sebagai salah satu solusi untuk mengatasi benturan yang muncul, antara fungsi dengan kepentingan, antara yang horisontal dengan yang vertikal. Dengan kantung-kantung budaya yang didukung fasilitasnya, mereka akan menggerakkan seluruh potensinya untuk terus berkreasi, dengan harapan, suatu saat kelak meraih posisi (dan memiliki kekuatan posisi tawar) dalam ruang yang lebih luas.

Seni dipandang dari perspektif kebudayaan, akan terlihat kenyataan-kenyataan yang saling berhadapan, penuh paradoks, dan juga tegangan. Seni berada dalam tegangan dan hegemoni wacana maupun institusi internasional. Potensi terbangunya kesalingmengertian dalam seni, semestinya terus dieksplorasi secara optimal.
Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru semakin besar. Inilah paradoks dan tegangan yang menghiringi wacana tentang identitas (budaya). Di satu sisi terdapat gairah untuk masuk dalam arus dan percaturan internasional (yang diliputi oleh semangat menepis batas-batas geografis, idiologis, politis, etnis, bangsa), namun di sisi yang lain justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas dan lokalitas.

Yang perlu terus diperjuangkan adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus-menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global; antara yang tradisi dengan yang modern; dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya. Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bilamana menyikapi seluruh persoalan yang diuraikan di atas, bagi Indonesia sudah semestinya menciptakan “prisai protektif” aturan-aturan resmi dan dilaksanakan dengan pelaksanaan hukum yang jelas. Kesenjangan yang terurai dalam kaitan dengan demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan nilai-nilai budaya lainnya sudah sepatutnya dibuatkan berbagai peraturan yang bisa dipatuhi oleh anggota masyarakat sehingga kesenjangan dalam memahami, mempedulikan dan menghoramati nilai-nilai pluralisme budaya berjalan sesuai harapan bangsa. Sebuah harapan, hidup bersama dalam keberagaman budaya.

Yogyakarta, 14 Oktober 2003
I Made Bandem

apakah itu seni

SENI DAN APAKAH ITU SENI? Berbicara tentang pengertian seni, mungkin kita akan merasa sedikit bingung, karena terlalu banyak ahli yang mengartikan persoalan seni. Belum ada kesepakatan yang jelas mengenainya, karena tinjauan yang dipakai berbeda-beda. Sejauh ini, dari berbagai pernyataan tentang seni mengarah pada persoalan kesanggupan akal manusia baik berupa kegiatan rohani maupun fisik untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik(luar biasa), menggugah perasaan orang lain. Namun ada beberapa pengertian seni yang bisa kita jadikan sebagai acuan dalam mempelajari Seni itu sendiri. Yang pertama seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan ataupun karena dorongan spiritual (Everyman Encyclopedia). Kedua, seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia (dalam karya Ki Hajar Dewantara, bagian pertama: Pendidikan, Majelis luhur persatuan Taman Siswa, Yogyakarta,1962). Tiga Seni merupakan kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitet (kenyataan) dalam suatau karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani penerimanya (Akhidiyat Karta Mihaja,” Seni dalam pembinaan Kepribadian Nasional). Empat Seni merupakan alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya ( Thomas Munro,Evolution in the Art, The Cleveland Museum of Art, Cleveland,1963). Sedangkan seorang pelukis asal Indonesia S, Sudjojono mengatakan, seni adalah jiwo kethok. Enam Seni adalah karya manusia yang mengkominikasikan pengalaman-pengalaman batinnya; pengalaman batin tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual (Soedarso Sp). Tujuh seni adalah sebagai transmission 0of feeling (Leo Tolstoy, What is Art?, Bob Merrill, Indiana polis , New york,1960). Delapan Seni merupakan imitasi atau realita tiruan dari alam/ilahi; Sembilan seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman (dikembangkan dari teori permainan oleh Frederich Schiller & Herbert Spencer). Dari berbagai pengertian tentang seni tersebut, kita bisa memilih salah satu arti seni dan menyimpulkan apa pengertian seni yang sebenarnya sebagai pedoman dan dalam proses penciptaan karya seni dan guna memahami arti seni. Tentunya hal itu tidak terlepas dari pengetahuan kita tentang seni sebelumnya. Hamka Agung Balya

mencari jati diri

mencari jati diri
aclyric on canvas. 150 x 100 cm.

ledakan jiwa

ledakan jiwa
aclyric on canvas. 200 x 150 cm.

kra'motak

kra'motak
media: campuran. 20x30cm.

iblis budaya

iblis budaya
aclyric on canvas. 50x40cm.

generasi terbelenggu

generasi terbelenggu
acllyric on canvas. 130x100cm.

nyanyian kaum urban

nyanyian kaum urban
acliric on canvas. 200 x 150 cm

my profil

Foto saya
jember, jawa timur, Indonesia
aku adalah aku, bukan kamu!