Melihat Perkembangan Seni Rupa Indonesia di FKI-6

oleh: Putri Dwimirnani
Foto: Dok. FKI-6 2009

JAKARTA - Perkembangan seni di Indonesia, sama seperti negara lain, telah memasuki fase kontemporer. Artinya, seni memberi ruang gerak dan ekspresi jauh lebih luas dibanding sebelumnya. Atas perkembangan tersebut, Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-6 di Taman Ismail Marzuki. Temanya 'Exploring Root of Identity'.

Sebagai bagian dari helatan tersebut, Pameran Seni Rupa Kontemporer diselenggarakan dengan melibatkan lima Perguruan Tinggi Seni se-Indonesia. Antara lain, Institut Kesenian Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan STKW Surabaya.

Melina Surya Dewi, Ketua Panitia Pelaksana FKI 6-2009, menjelaskan "Ini merupakan pameran pertama dalam FKI yang menampilkan kurator seni." Setidaknya lima kurator dari berbagai latar belakang dilibatkan untuk menilai karya seni yang dipamerkan.

Di pameran yang berlangsung pada 17-24 Oktober 2009 ini, tak hanya ditampilkan karya seni berupa lukisan patung, tapi juga seni instalasi, keramik, digital printing, komik, hingga fotografi.

Akhir-akhir ini fotografi seni memang makin marak, terutama di Jakarta. Menurut Asikin Hasan, salah satu kurator yang terlibat, "Perkembangan fotografi di Jakarta demikian pesat hanya dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, Jakarta merupakan kota metropolitan dengan begitu banyak orang dan aktivitas di dalamnya."

Pameran ini makin menarik melihat para peserta yang merupakan alumni dari berbagai institusi seni di Indonesia yang kini sedang naik daun. Sebut saja misalnya Ismail yang terkenal dengan komik strip 'Sukribo'. Di sini ia bereksplorasi dengan mengangkat tokoh Sukribo pada media kanvas.

Mikke Susanto, satu dari dua kurator yang hadir, menyebutkan, "Pameran ini menyajikan perkembangan para alumni dari lima Perguruan Tinggi Seni di Indonesia." Artinya, seluruh seniman yang terlibat telah melepaskan identitas institusi masing-masing dan bereksplorasi sesuai kreativitas dan karakter masing-masing.

Tak hanya itu, karya yang tampil diharapkan mampu mewakili isu-isu mengenai keilmuan dan keterampilan (craftmanship), menjadi perpaduan antara apa yang dipelajari di kampus dan dunia luar, serta menjadi media atau jembatan bagi kebutuhan masyaraka

16 DESAINER GRAFIS JEMBER PAMERKAN KARYANYA



16 desainer grafis muda jember, mulai 22 hingga 25 november 2009 memamerkan karya-karya berupa karya seni desain grafis di graha nada, kaliwates, jember.
Para desainer grafis jember yang tergabung dalam komunitas “ sindikat” tersebut, memamerkan sekitar 22 karya dari seratus karya yang terpilih dan dinyatakan layak untuk di pamerkan dalam pameran desain grafis yang bertemakan “ i am is me “.

Dalam karya-karyanya para desainer muda asal kota tembaku ini mencoba menuangkan ide dan pikirannya serta gejolak politik dan budaya yang terjadi di indonesia kedalam karya grafisnya.

Pergeseran nilai budaya yang menjadi hantu budaya yang sangat menakutkan kelanjutan seni dan tradisi budaya bangsa indonesia juga tidak luput dari perhatian para desainer-desainer jember tersebut, seperti yang tertuangkan dalam karya yang berjudul “ kau sebut ini budaya” yang digambarkannya melalui sosok wayang kulit berpakaian bendera bangsa asing.

Koordinator pameran, widi widianto, menyatakan, ajang pameran karya grafis ini bertujuan untuk lebih memperkenalkan desain grafis dan gerakan seni modern ( pop art) ke masyarakat khusunya masyarakat kabupaten jember.

Desain Grafis : Urban Art, Seni Yang Menghampiri Publik Melalui Apa Saja

PENGANTAR BEDAH KARYA CD INTERAKTIF
DAN DISKUSI INDUSTRI KREATIF “URBAN ART”
Desain adalah proses – cara – perbuatan dengan mengatur segala sesuatu sebelum bertindak atau merancang. Grafis adalah goresan yang berupa titik atau garis yang berhubungan dengan cetak-mencetak
Desain Grafis adalah kombinasi kompleks antara kata-kata, gambar, angka, grafik, foto dan ilustrasi yang membutuhkan pemikiran khusus dari seorang individu yang bisa menggabungkan elemen-elemen ini, sehingga mereka dapat menghasilkan sesuatu yang khusus, sangat berguna, mengejutkan atau subversiv atau sesuatu yang mudah diingat. Turunan dari desain grafis dapat bermacam rupa dan salah satunya adalah desain komunikasi visual.
Urban art adalah seni yang mencirikan perkembangan kota, dimana perkembangan itu kemudian melahirkan sistem di masyarakat yang secara struktur dan kultur berbeda dengan struktur dan kultur masyarakat pedesaan. Saat ini seni bukan lagi sekedar berlatar belakang tradisi tapi justru lebih merespon tradisi-tradisi baru terutama di daerah perkotaan yang secara demografis dihuni oleh anggota masyarakat yang sangat heterogen.
Urban art lahir karena adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya. Maka munculah usaha dari sekelompok orang untuk memamerkan dan mendatangkan seni ditengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan kebebasan berekspresi di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui media seni dan dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri. Zaman sekarang seni bukan lagi sebuah representasi yang ditampilkan di galeri saja, tapi sebuah media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lainnya seperti iklan di TV, billboard iklan, poster promosi, baliho dan lain-lain. Semua media ekspresi tersebut mendominasi dihampir setiap fasilitas publik.
Urban art berhasil memangkas hubungan yang berjarak antara publik sebagai apresiator dengan sebuah karya seni. Menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Seni diposisikan sebagai sesuatu yang konservatif dan sarat dengan nilai pengagungan. Urban art berhasil meruntuhkan nilai-nilai tersebut dengan cara menghadirkannya ke tengah publik melalui media-media yang erat dengan keseharian masyarakat kota. Bila menarik elemen lokal dalam urban art, lukisan di bak truk dan becak adalah contoh urban art.
Tujuan urban art lebih berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalisme dan perlawanan terhadap sistem dominan dimasyarakat. Bentuk konkret urban art bisa bermacam-macam sepanjang karya seni itu mengusung spirit dinamika urban. Di kota Jember kita bisa membayangkan akan melihat semua ekspresi semangat urban itu dalam berbagai bentuk. Seperti komunitas musik punk, musik hard core dan musik indie, graffiti dan mural juga mulai menampakkan kemunculan disudut – sudut kota Jember walaupun masih sedikit jumlahnya. Desain grafis pun juga mengikuti dengan berusaha mendekatkan desain grafis itu sendiri kepada publiknya melalui pameran karya, memunculkan nilai-nilai yang lekat dengan seni urban itu sendiri.
Pada akhirnya desain grafis dan nilai urban art itu sendiri akan berhasil dikomodifikasi oleh komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk kesenian terutama desain grafis, seni mural dan grafiti sekarang terutama di kota Jember lambat laun berhasil menjadi sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis. Pada akhirnya terbentuklah creativity ecology : people need creativity – creativity need fredoom – fredoom need market. Saat ini masih merangkak dari komunitas ke komunitas yang mencoba memberi warna pada jember yang selalu indah.
*Sindrom Desain Nekat (SINDIKAT)
Ditulis untuk pengantar diskusi karya dan diskusi “urban art”

Sejarah umum seni lukis

Sejarah umum seni lukis

Zaman prasejarah

Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna.

Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.

Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan (dua dimensi, dimensi datar).
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan obyek-obyek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari obyek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap obyeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam obyek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya.

Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.


Seni lukis zaman klasik

Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
• Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
• Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal.

Seni lukis zaman pertengahan

Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas.
Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".
Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda.

Seni lukis zaman Renaissance

Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ahli sains dan kebudayaan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang.
Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa.

Seni Rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki.

Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.
Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
• Tomassi
• Donatello
• Leonardo da Vinci
• Michaelangelo
• Raphael


Art Nouveau

Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin.
Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam.

Sejarah seni lukis di Indonesia
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda.
Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa.

Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.
Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu.

Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.

Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda.
Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.

Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.[rujukan?]

Aliran seni lukis

Surrealisme

Lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Pelukis berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.

Kubisme

Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan sensasi tertentu. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Pablo Picasso.

Romantisme

Merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Pemandangan alam adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.
Romantisme dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonial. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Raden Saleh.

Seni lukis daun

Adalah aliran seni lukis kontemporer, dimana lukisan tersebut menggunakan daun tumbuh-tumbuhan, yang diberi warna atau tanpa pewarna. Seni lukis ini memanfaatkan sampah daun tumbuh-tumbuhan, dimana daun memiliki warna khas dan tidak busuk jika ditangani dengan benar. senidaun.wordpress.com

Plural painting

Adalah sebuah proses beraktivitas seni melalui semacam meditasi atau pengembaraan intuisi untuk menangkap dan menterjemahkan gerak hidup dari naluri kehidupan ke dalam bahasa visual. Bahasa visual yang digunakan berpijak pada konsep PLURAL PAINTING. Artinya, untuk menampilkan idiom-idiom agar relatif bisa mencapai ketepatan dengan apa yang telah tertangkap oleh intuisi mempergunakan idiom-idiom yang bersifat : Multi-etnis, multi-teknik, atau multi-style. Yang memperkenalkan konsep seni ini adalah karya seni lukis Wahyu Nugroho. wahyustudio.blogspot.com

Aliran lain
• Ekspresionisme
• Impresionisme
• Fauvisme
• Neo-Impresionisme
• Realisme
• Naturalisme
• De Stijl

Abstraksi

Adalah usaha untuk mengesampingkan unsur bentuk dari lukisan. Teknik abstraksi yang berkembang pesat seiring merebaknya seni kontemporer saat ini berarti tindakan menghindari peniruan objek secara mentah. Unsur yang dianggap mampu memberikan sensasi keberadaan objek diperkuat untuk menggantikan unsur bentuk yang dikurangi porsinya.

Pelukis terkenal Indonesia
• Affandi
• Agus Djaya
• Barli Sasmitawinata
• Basuki Abdullah
• Djoko Pekik
• Dullah
• Ferry Gabriel
• Hendra Gunawan
• Herry Dim
• Jeihan
• Kartika Affandi
• Lee Man Fong
• Mario Blanco
• Otto Djaya
• Popo Iskandar
• Raden Saleh
• S. Sudjojono
• Srihadi
• Sri Warso Wahono
• Trubus
Affandi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

biografi


Hamka Agung balya
Lahir di kota “Tembakau” Jember tahun 1980. Mulai Belajar melukis secara otodidak sejak kecil dan mulai menekuni secara mendalam dunia seni lukis sejak tahun 1997.
Pada tahun 2000 hijrah ke kota “gudeg” Yogyakarta untuk memperdalam dan menimba ilmu dan wawasan seni rupa khusunya seni lukis hingga tahun 2003. Selain belajar dan berkarya, selama di Yogyakarta juga bekerja di sebuah media lokal sebagai penulis lepas rubrik seni rupa dan sekaligus sebagai ilustrator, menjadi pelukis jalanan dan desainer interior freelance.
Agustus 2003 memutuskan untuk hijrah ke pulau “dewata” bali dan bekerja di media lokal di bali sebagai wartawan. Selama di pulau dewata, sering memanfaatkan waktu senggangnya untuk terus menimba ilmu dan memperluas wawasannya dengan mempelajari seni rupa bali dan bergabung dengan komunitas seni rupa yang ada di Denpasar.Bersama rekan-rekannya selain menggelar beberapa ajang pameran lukisan, komik, kartun dan karikatur, juga menerbitkan majalah kartun dan karikatur “ kramotak” yang selalu mengkritisi dunia politik, social, budaya dan dunia seni di bali.
Akhir tahun 2007, memutuskan kembali ke kampung halamannya. Bersama rekan-rekanya yang pernah secara bersama-sama menimbah ilmu di Yogyakarta dan tergabung dalam komunitas “Taring Padi” Yogyakarta, ia mendirikan komunitas keras kepala yang bergerak di dunia seni rupa yang lebih menonjolkan seni kerakyatan ( seni untuk seni dan seni untuk rakyat).
Bersama rekan-rekannya dan para pegiat seni di jember, beberapa kali mengadakan pameran seni rupa lebih sering digelar di luar ruangan dengan tujuan agar lebih muda di nikmati oleh masyarakat umum.
Dan hingga kini selain tetap aktif berkarya, juga bekerja di sebuah media televisi local di Jawa Timur sebagai reporter.

Pengalaman pameran:
1. Pameran seni lukis bersama teras trotoar di depan gedung Soetarjo Universitas Jember (2002).
2. Pameran poster bersama “ Refleksi kemerdekaan RI” di sekitaran monument supersemaer Yogyakarta ( 2003).
3. Painting exhibition V ukmk unej, gedung PKM UNEJ ( 2003).
4. Pameran banner hari bumi di sepanjang jalan Jawa, Tegal Boto, Jember (2003).
5. Pameran kemerdekaan, SAC UNEJ ( 2003).
6. Live painting dies natalis MAHAPALA FE.UNEJ ( 2003).
7. Pameran banner hari tani di bundaran DPDR Jember ( 2003).
8. Pameran seni lukis pembukaan outlet Photot di SAC UNEJ ( 2003).
9. Pameran banner “Perdamaian” di sepoanjang jalan Jawa, Tegal Boto, Jember ( 2004).
10. Pameran seni rupa duet Hamka & Krisna dengan tema “ 2 GANG” di TIKA cafĂ© Jember ( 2004).
11. Pameran bersama komik 100 meter peringatan hari Aids se dunia, dibalai Pemuda Surabaya ( 2005).
12. Pameran bersama se jawa bali “ Antar kota Antar Propinsi” di aula PMI Cab.Jember ( 2006).
13. Pameran komik bersama “Reportase Lidah Anjing” di toko Buku Toga Mas Surabaya ( 2006).

PENGEMBANGAN KESENIAN DAERAH DAN GLOBALISASI

Sebuah konsep menuju ketahanan budaya

HAMPIR bisa dipastikan sebagian besar orang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah bagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan. Kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.

Kebudayaan secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir atau mindset suatu masyarakat (tentang segala perikehidupannya di masa lampau, masa kini dan masa depan), yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dan aneka dimensi kesenian. Demikian pula, kesenian merupakan salah satu wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture). Seperti juga yang diutarakan Meutia Farida Hatta Swasono di Institut Seni Indonesia Yogyakarta beberapa waktu lalu bahwa kemajuan kebudayaan bangsa dan peradabannya membawa serta, dan sekaligus secara timbal-balik dibawa serta, oleh kemajuan keseniannya.

Bagaimana peran kesenian tradisonal dalam konsep ketahanan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu beberapa langkah anternatif. Pertama, perlu mengidentifikasi kesenian-kesenian tradisonal tertentu yang dominan dan sinambung (viable), yang memiliki peluang untuk dikembangkan dan diperkaya, serta dapat menarik munculnya daya apresiasi masyarakat. Kedua, kesenian-kesenian tradisional terpilih diartikulasikan sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial, sehingga mudah beradaptasi dan mendorong kepekaan umum terhadap nilai-nilai keanggunan seni. Ketiga, mendorong dinamika seni menjadi kreasi dan santapan segar untuk kelengkapan kehidupan sehari-hari, menjadikannya semacam way of life.

Kesenian sebagai Nilai Tambah Kultural

Bertolak dari pernyataan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kesenian daerah (tradisonal) adalah pembangunan nilai-nilai seni dan apresiasi seni demi meningkatkan kemartabatan seniman dan masyarakat. Dalam pembangunan nasional, idealnya kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional memperoleh maknanya dalam kaitan dengan pemahaman dan apresiasi nilai-nilai kultural. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka pembangunan nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”.

Pakem-pakem kesenian (lokal dan nasional) pada dasarnya tetap diperlukan, karena ia berakar dalam budaya masyarakat. Akan tetapi, ia dimungkinkan untuk dekomposisi, rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan. Sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, perlu juga dikembangkan demi mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni. Di sinilah awal dari kesenian daerah menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural” masyarakat.

Di sisi lain kita harus menyadari bahwa kesenian daerah (tradisional) pada dasarnya adalah anonim. Bahkan, lebih jauh lagi ia juga tak bisa dibatasi atas klaim wilayah. Ia menjadi tak terbatasi oleh garis yang pasti (borderless). Untuk itulah, jika kesenian ditempatkan sebagai sarana menciptakan ketahanan budaya suatu bangsa maka persoalan makna ketahanan budaya tersebut harus disikapi sebagai ketahanan nasional.

Studi kasus masyarakat Jawa di Jawa Tengah misalnya, selama ini ia sedang berusaha memelihara eksistensi dan soliditas sosialnya untuk tidak kehilangan kesadaran diri, tidak kehilangan jatidiri, harga diri, atau pun sejarah peradabannya. Eksistensi dan soliditas warga masyarakat ini akan terjaga dengan baik jika pengembangan seni mampu memperkukuh kesadaran diri dan jatidiri kita sebagai bangsa yang anggun dan beradab.

Seumpama kesenian dapat dianalogkan dengan ekonomi misalnya, maka pembangunan ekonomi yang bermakna sebagai upaya untuk meningkatkan “nilai-tambah ekonomi”, maka pembangunan kesenian dan kebudayaan akan bermakna sebagai upaya meningkatkan “nilai-tambah kultural”. Nilai tambah kultural pada dasarnya juga memuat makna nilai-tambah kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jatidiri dan nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti. Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dicita-citakan oleh kemerdekaan bangsa ini, yaitu cita-cita untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah makna yang berdasarkan pada konsepsi iptek atau pun konsepsi biologi-genetika, melainkan merupakan suatu konsepsi budaya. Dengan demikian “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan upaya untuk meningkatkan kekayaan batin, meningkatkan kadar budaya bangsa, kadar kemadanian, sebagai suatu proses humanisasi mencapai keadiluhungan yang mengungguli basic instincts, untuk mengangkat harkat dan derajat insani dari bangsa kita.

Ketahanan Budaya dan Globalisasi

Memang harus diakui bahwa ancamanan globalisasi tak bisa dihindari. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Untuk itu, perlu kita kemukakan bahwa proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam “clash of civilizations”, dan – meminjam istilah Samuel Huntington – juga dapat mengakibatkan perusakan berat terhadap peradaban. Kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness), tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Dalam pengertian ini, jelas bahwa bila kita bicara mengenai ketahanan budaya, pada dasarnya kita berbicara pula mengenai pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.

Harus diakui, globalisasi memiliki banyak pengertian. Globalisasi semacam penciutan dunia. Mereka mengistilahkannya sebagai kampung global. Sebagian lagi berpandangan, globalisasi adalah penyatuan dunia. Namun pengertian ini bukan berarti penyeragaman budaya. Yang jelas hingga kini, sebagian besar ilmuan masih berselisih pendapat soal pengertian globalisasi. Bahkan definisi yang mereka ajukan masih menyisakan banyak ketidakjelasan.

Namun demikian, setidaknya ada dua perspektif utama mengenai globalisasi. Perspektif pertama berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat global. Seluruh budaya lokal akan digerus dalam proyek globalisasi sehingga pluralitas yang ada akan berujung pada sebuah tatanan tunggal. Perspektif ini lahir dari pandangan yang berkembang di kalangan pemikiran dan politisi Barat, khususnya pada abad ke-18.

Globalisasi dalam pengertian mereka, semacam ruang dua kutub mengenai isu identitas budaya, sosial, dan nasional, sedang di sisi lainnya mereka melontarkan ide pemusnahan identitas lokal. Dengan mencermati perkembangan dalam beberapa dekade terakhir ini, tampak jelas adanya upaya para politisi negara-negara Barat, semacam AS berusaha menyeret dunia menuju tatanan tunggal berdasarkan nilai-nilai Barat. Sebagian besar ilmuan bahkan menyebut model globalisasi kultural semacam itu sebagai imperialisme budaya yang lebih terkesan nyata di lingkungan media massa dan seni. Sebagai contoh, acara-acara televisi, filem, dan musik pop merupakan perangkat utama imperialisme budaya. Dengan demikian, seni bisa menjadi perangkat paling efektif di berbagai bidang yang bisa membantu para perancang globalisasi kultural merealisasikan ambisinya.

Perspektif kedua, globalisasi berseberangan nyata dengan perspektf pertama. Berdasarkan pandangan kelompok kedua ini, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan seni lokal. Mereka berpendapat, meski dunia saat ini sedang mengalami proses globalisasi, namun bangsa-bangsa dunia tidak menyerah begitu saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin menguat.

Seorang peneliti asal India, Doktor Abhay Kumar Singh pernah mengatakan: “Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencana bagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang terbilang kaya dari segi budaya. Seni makin maju hingga mempengaruhi dunia. Sejarah membuktikan bahwa di berbagai masa, seni peradaban Iran, India, dan Romawi telah tersebar hingga ke negeri-negeri yang jauh. Masalah seperti itu bisa terulang kembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha dan tahu bagaimana seni bisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal”.

Perspektif yang kedua tentang globalisasi ini mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke-20. Hingga masa-masa awal millenium ketiga, perdebatan soal globalisasi masih belum juga usai. Para pakar dan peniliti sosial masih asyik berwacana tentang perangkat dan pengaruh globalisasi terhadap budaya dan seni masyarakat. Makin berkembangnya teknologi infomasi, komunikasi, dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia di awal abad ke-21 membuat batas-batas geo-politik negara tak lagi berperan penting. Kekhasan utama abad sekarang adalah begitu cepatnya proses pertukaran informasi. Karena komunikasi elektronik berjalan setiap saat yang menyambung berbagai ruang yang terpisah seakan menyatu. Jaringan komunikasi global telah menjadikan manusia berkuasa untuk mengalami dunia sebagai satu unit.

Dunia saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada. Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan bisa diminimalisir dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi dan hegemoni kekuatan adidaya.

Tentu globalisasi, selain harus kita waspadai, juga harus kita lihat sebagai kesempatan-kesempatan baru. Kita harus proaktif di dalamnya. Di situ kita harus “go global” dengan local specifics Indonesia, sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai aktor tangguh dalam proses globalisasi, baik dari aspek budaya maupun dari aspek keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari perkembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Semarang, Juli 2009

Dimensi Budaya dalam Situasi konflik

Dimensi Budaya dalam Situasi konflik

Written by I MADE BANDEM

Seperti diketahui bersama, bahwa kita semua kini berada dalam ruang yang demikian luas berbingkai globalisasi. Segala macam peristiwa dan perubahan yang tengah bergulir di manapun, melibatkan siapapun, dapat kita nikmati saat itu juga. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas dan kendala komunikasi. Teknologi komunikasi yang semakin canggih, semakin melapangkan persilangan informasi dan komunikasi hingga ruang-ruang privasi setiap orang. Sedemikian jauh kita didorong untuk memasuki lorong waktu dan peristiwa yang nyaris tanpa batas. Bersamaan dengan itu, kita juga didorong untuk masuk dan berada dalam berbagai putaran arus, kecebderungan, selera, dan tanda-tanda yang beragam. Pendeknya, kita berada dalam ruang budaya yang beragam (pluralisme budaya).

Pluralisme budaya yang kini lebih populer dengan istilah ‘multikulturalisme’ adalah sebuah lautan idiologi yang memperoleh perhatian besar dari kalangan para teoritisi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh luasnya permasalahan yang harus diseberangi, mulai dari kebijakan imigrasi, resolusi konflik, dan hukum internasional, sampai kepada penelitian arkeologi, penciptaan seni dan kebijakan pendidikan. Multikulturalisme mengibarkan bendera pertukaran dan pemahaman antar budaya. Istilah ‘multikulturalisme’ menujukkan keanekaragaman budaya yang memungkinkan untuk hidup bersama, bukan membentuk sin qua non apa artinya hidup sebagai manusia.
Dalam tatanan yang agak berbeda, namun memiliki kenyataan yang rasional, multikulturalisme menjadi pencaharian yang amat panjang mengenai hak keseimbangan yang tidak tampak antara kebenaran mayoritas dan kebenaran minoritas. Hal ini sering dipahami sebagai kesenjangan pusat dan daerah, nasionalisme dan etnosentrisme, sentralisasi dan desentralisasi, yang berakibat terhadap kurang harmonisnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika telah diakui sebagai gerakan dengan haknya sendiri, multikulturalisme menawarkan jembatan sejajar bagi kelompok-kelompok yang berbeda budaya untuk hidup bersama.

Makalah singkat yang diberi judul “Seni dalam Perspektif Kebudayaan” akan membahas dua hal pokok yaitu mengenai hakikat seni yang terkait dengan pluralisme budaya; dan pendidikan seni sebagai sebuah strategi untuk hidup bersama.

Kebudayaan menunjuk kepada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan memiliki, ide, bentuk dan prilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 (tujuh) unsur pokok yaitu sistim kepercayaan, bahasa, sistim ekonomi, sistim sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreativitas dalam hal olah imaji dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau, dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertian yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.

Sebagai penampilan ekspresif dari penciptanya, seni mempunyai hubungan yang erat dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Isi dan bentuk seni tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam 7 (tujuh) unsur pokok kebudayaan di atas. Tema-tema seni berakar pada nilai-nilai agama, organisasi sosial, sistim teknologi, sistim pengetahuan, bahasa, dan sistim ekonomi. Secara umum seni dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu seni pertunjukan (tari, karawitan, pedalangan, musik, pencak silat, dan teater); seni rupa (lukis, patung, kriya, desain, instalasi dan arsitektur); seni sastra (puisi dan prosa); dan seni sinematografi (film, video dan animasi).

Dilihat dari sudut demografi, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis, bahasa, dan seni sudah lama menjadi sebuah masyarakat dengan pluralisme budaya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami difusi kebudayaan sejak berabad abad yang lampau. Kepulauan ini pernah dihuni oleh berbagai jenis ras seperti manusia Pithecanthropus Erectus (Homo Soloensis), Austro Melanesoid, Mongoloid, Proto Melayu, dan lain-lain yang semuanya meningalkan sisa-sisa kebudayaannya sampai sekarang. Agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik juga memberi warna dan corak kepada kebudayaan Indonesia yang ada sekarang. Belum diperhitungkan pengaruh kebudayaan Barat yang sedikit banyak menjadikan kebudayaan Nusantara lebih plural dan unik. Menurut C.A. van Peursen Indonesia kini masih memiliki kebudayaan majemuk yang bersifat mistis, ontologis dan fungsional.

Sungguh ironis ketika pada kenyataannya bahwa apresiasi, pemahaman, dan interaksi tentang keragaman budaya itu belum sepenuhnya menjadi keniscayaan. Tidak banyak anggota masyarakat yang memahami arti penting dari pluralisme budaya, dan tidak banyak pula anggota mayarakat yang meyakini bahwa kita bisa hidup bersama dalam keragaman budaya. Sementara itu kontak sosial budaya antar warga negara Indonesia yang mempunyai latarbelakang keragaman budaya sudah menjadi lebih intensif. Demikian pula bahwa kontak dengan budaya asing telah dipercepat oleh adanya sistim komunikasi canggih. Semua persoalan ini merupakan masalah yang esensial dalam pembahasan mengenai seni dan pluralisme budaya, atau secara makro adalah seni dalam perspektif kebudayaan. Selanjutnya akan digambarkan interaksi antara seni dengan unsur-unsur budaya yang lain, sekaligus menyatakan betapa pentingnya nilai-nilai budaya sebagai hakikat dan isi dari sebuah karya seni. Kemudian berikutnya akan dibahas pula tentang kebijakan dalam hal pembinaan atau pendidikan seni di Indonesia.
Interaksi antara seni dan agama sudah lama menjadi kenyataan. Agama merupakan sumber etika dan moralitas. Seni adalah salah satu wahana yang paling tepat untuk mempromosikan kehidupan agama. Simbol-simbol agama disosialisasikan lewat pameran dan pementasan seni. Pameran dan pementasan karya seni Bali misalnya sering mendramatisasikan kehidupan agama Hindu. Pendidikan etika dan moralitas dilakukan lewat pementasan dan pameran karya seni. Di Indonesia masih banyak terpelihara seni sakral, seperti tari Belian di Kalimantan Timur, Selawatan di Jawa, Sang Hyang di Bali, Kuda Lumping di Jawa Barat, Reog di Jawa Timur. Semuanya memiliki nilai budaya yang dapat memberi pencerahan etika dan moralitas.

Seni memiliki nilai demokrasi yang kental. Inspirasi, aspirasi dan dialog muncul ketika seni dalam proses penciptaan. Dipandang dari prilaku masyarakat, proses penciptaan seni biasanya melibatkan dialog dan interaksi antar seniman. Gamelan adalah salah satu bentuk seni Nusantara yang menyimpan nilai-nilai demokrasi. Masing-masing instrumen dalam gamelan memiliki bentuk, fungsi dan teknik permainan yang berbeda. Permainan gamelan tidak saja menuntut adanya kemampuan individu yang kuat, tetapi juga membutuhkan interaksi kolektif yang mantap. Koordinasi antar pemain satu dengan lainnya adalah kunci keberhasilan sebuah pentas gamelan. Nilai ini kurang dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di Amrika Serikat, Jepang, Australia dan Eropa, gamelan sudah lama dijadikan bagian dari kurikulum universitas-universitas besar, sebagai manifestasi pendidikan pluralisme budaya.

Seni dalam semua jenis dan sifatnya tak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Pemahaman tentang fungsi lingkungan hidup sebagai tempat berlindung, mencari nafkah, dan mencari identitas sering dilukiskan dalam seni rupa maupun seni pertunjukan. Keindahan flora dan fauna Indonesia sering dijadikan tema bagi sejumlah seniman. Pelukis Wakidi sering mengolah panorama Sumatera Barat (Ngarai Sianok), atau Abdoellah Soeriosoebroto dengan pemandangan di Jawa. Ahmad Tohari lewat sejumlah novelnya (Ronggeng Dukuh Paruk) yang piawai melukiskan detail-detail alam pedesaan Jawa (Banyumas). Atau pelukis Edvard Munch, juga Vincent van Gogh sering melukis lanskap negerinya, Norwegia dan Belanda, dan akhirnya menjadi identitas keduanya (identitas kepelukisan Munch maupun van Gogh, maupun identitas Norwegia dan Belanda). Keindahan flora dan fauna Indonesia dan Tri Hita Karana merupakan nilai keseimbangan antara manusia dengan alam lingkungan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sering menjadi tema sentral karya seni.
Sejak Indonesia diakui sebagai negara kesatuan yang merdeka, hak individu diperhatikan. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak untuk mendapat keadilan, hak untuk hidup sejahtera dan lain sebagainya. HAM sampai saat ini masih menjadi persoalan yang tak pernah terselesaikan. Pertentangan antar etnis, suku, dan golongan terus berkembang dan tak pernah terselesaikan melalui hukum yang jelas. Para seniman mengangkat masalah-masalah HAM sebagai isi karya seni. HAM merupakan sebuah nilai kehidupan yang mutlak menjadi perhatian seluruh bangsa.

Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Di Jawa disebut desa mawa cara, sedangkan di Bali disebut desa kala patra. Hal ini diartikan sebagai penyesuaian diri dengan tempat, waktu dan keadaan. Disini seni diperlukan sebagai potensi untuk mengembangkan diri sendiri. Menerima suatu keadaan keragaman dalam keseragaman atau suatu perbedaan dalam kesatuan. Konsepsi ini memberi landasan yang luwes dalam hubungan ke luar maupun ke dalam, dan menerima perbedaan dan variasi menurut faktor tempat, waktu dan keadaan.
Nilai atau konsepsi sejenis ini sangat beragam jenis dan sifatnya. Di seluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada berapa jenis nilai seperti tersebut di atas yang dapat diangkat sebagai tema karya seni. Di antara nilai-nilai itu termasuk prinsip rukun, prinsip hormat, prinsip mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning bangsa, adigang adigung adiguna (sikap yang sombong), aja dumeh (jangan sok), ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu).

Demikian pula di daerah Sumatra, dalam khasanah sastra Indonesia misalnya, kita mengenal berbagai novel yang bertemakan tentang kebangsawanan, kepahlawanan, kejujuran, percintaan, kesedihan, dan keagamaan yang semua dilatarbelakangi oleh kondisi sosio kultural dan sosio politik yang berkembang dalam masyarakat.
Akhirnya, nilai-nilai yang dibicarakan di atas merupakan nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan lokal, kebudayaan daerah, kebudayaan nasional, bahkan dalam kebudayaan internasional yang membentuk kebudayaan nasional Indonesia. Dengan demikian seni sebagai produk kebudayaan, terus-menerus dihadapkan secara diametral dengan beragam persoalan kebudayaan semacam itu. Persoalan kini adalah dibutuhkan aksi dan langkah yang jelas bagaimana menciptakan agar bangsa ini bisa peduli, hormat, dan memahami nilai-nilai keragaman budaya tersebut. Sejumlah langkah mesti dilakukan. Salah satu diantaranya adalah menjadikan seni dengan pluralisme budaya sebagai strategi pendidikan untuk hidup bersama.

Pendidikan merupakan social reproduction, menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peranan pendahulunya. Pendidikan, khususnya pendidikan dasar, sepantasnya mengutamakan pendidikan kepribadian. Di samping mempelajari hal-hal yang bersifat akdemis, pembekalan kepribadian penting artinya untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apapun. Pembekalan kepribadian dapat dilakukan mulai dari rumah, sekolah dan masyarakat. Kerja kelompok dan demokrasi dapat dimulai dengan pelajaran olahraga dan kesenian.
Di samping masalah kepribadian dalam pendidikan untuk hidup bersama dibutuhkan adanya law and order. Penegakan dan tertib hukum adalah kunci untuk sukses. Oleh sebab itu perlu adanya rule of law dan law enforcement, serta HAM yang pelaksanaannya dijamin dan dilindungi oleh undang-undang tanpa diskriminasi.
Kecuali penegakan hukum, kepemimpinan (leadership) dalam pendidikan untuk hidup bersama merupakan faktor yang menentukan keberhasilan. Kepemimpinan pada semua tingkat memerlukan kompetensi, cara pandang, sikap dan prilaku yang tidak diskriminatif, berkeadilan, dapat mengakomodasikan fikiran semua pihak, konsisten, sehingga merupakan contoh yang baik dalam hidup bersama dalam perbedaan.

Peter M. Senge, seorang ahli manajemen dari Amerika Serikat menyatakan bahwa paradigma untuk hidup bersama dalam memajukan sebuah perusahan ditentukan oleh adanya personal mastery, keahlian pribadi dimana seseorang patut memiliki ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang tinggi; system thinking, berfikir secara sistemik yang mampu membuat seseorang hidup teratur; team learning, suatu tim pembelajaran bersama secara kukuh; shared vision, penetapan visi bersama atas dasar visi masing-masing; dan mental model, suatu mental yang dapat membangun mutual care, mutual understanding dan mutual respect. Semua keahlian ini terdapat pula dalam manajemen penciptaan karya seni.

Pendidikan untuk hidup bersama dalam keragaman budaya memerlukan sebuah konsep dinamakan belief system. Orang tua dalam keluarga sejatinya memiliki pemikiran tentang pendidikan dan perkembangan anaknya. Dalam mengasuh, merawat, membesarkan, mendidik, dan mengarahkan anaknya benar-benar sesuai dengan fikiran, pengalaman, dan budaya yang dimiliki. Pancasila sudah menjadi falsafah bangsa Indonesia, merupakan bilief system dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar dan fundamental untuk menata dan membangun kehidupan bermasyarakat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Millenium Summit 2000 telah mendeklarasikan hal-hal esensial yang berhubungan dengan kehidupan bersama bangsa-bangsa dengan menuangkan nilai-nilai dasar yaitu freedom, equality, solidarity, tolerance, respect for nature, dan shared responsibility, yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu perlu dikembangkan dan disosialisasikan sedini mungkin sebagai bagian dari pendidikan untuk belajar hidup bersama.

Persoalan yang muncul ketika melaksanakan pendidikan untuk hidup bersama dalam keragaman adalah masalah guru, kurikulum, sarana pembelajaran, dan metodologi pengajaran. Di Amerika Serikat dalam rangka mengembangkan pendidikan multikultural yang disebut Teaching Art From A Global Perspective (Pembelajaran Seni dari Perspektif Global), Eric Digest mengajukan beberapa tingkat pelaksanaan pendididkan seperti pembelajaran seni dalam konteks multinasional, pembelajaran seni dalam konteks multikultural, pembelajaran seni dalam konteks komunitas, dan pembelajaran seni dalam konteks global. Setiap tingkat memiliki cara dan pelaksanaan yang berbeda dan materi pendidikan yang berbeda pula. Disinilah pentingnya penyiapan bahan pelajaran seni yang terkait dengan pluralisme budaya.

Aksi lain yang dapat dilakukan untuk peningkatan pemahaman, penghormatan, dan kepedulian bagi pluralisme budaya adalah kegiatan kreativitas yang disebut sebagai Kolaborasi Seni. Indonesia memiliki budaya yang sangat majemuk untuk melaksanakan kreativitas ini. Setidaknya terdapat 931 suku bangsa, 600 bahasa lokal, dan ratusan jenis dan gaya seni yang tersebar antara Sabang dan Merauke. Kolaborasi Seni dapat dilakukan antar satu budaya dengan budaya lain di tanah air (intrakultural), dan kolaborasi seni antar budaya di tanah air dengan budaya negara lain (interkultural).

Sardono W. Kusumo, seorang penari Jawa klasik, dan tokoh tari Kontemporer Indonesia mengadakan kolaborasi seni dengan masyarakat Bali di Teges Kanginan pada tahun 1971. Dengan wawasan seni Jawa dan tari kontemporer yang luas, Sardono tinggal di Bali selama 6 bulan, mengadakan eksplorasi, percobaan-percobaan untuk membentuk sebuah tari kreasi baru yang kemudian dinamakan Cak Rina. Tari Kecak yang telah memiliki bentuk yang mapan, diobrak-abrik oleh Sardono, dimasukkan gagasan tentang tari modern seperti konsep chance, total theatre, improvisasi, dan berbagai jenis konsep global lainnya. Para penghulu agama ikut menari di dalamnya dan anak-anak kecil telanjang bermain dengan play instinct menjadi bagian menonjol dalam tari Kecak Rina. Anggota masyarakat dari Teges Kanginan merasa memperoleh pengetahuan baru untuk mengembangkan keseniannya. Sebaliknya para pejabat dan otoritas kesenian Bali yang bernama Listibiya menjadi geram dan marah atas kreasi itu. Sardono dituduh mendesakralisasikan kesenian Bali. Media lokal mendukung Listibiya dan terjadi polemik dan wacana yang cukup panjang mengenai peristiwa itu. Kecak Rina dibawa ke Eropa. Kantor Imigrasi di Bali menolak memberi paspor. Tetapi Sardono memperoleh ijin ke luar negeri dari Kantor Imigrasi di Semarang. Pementasan Kecak Rina berhasil dengan sukses di Eropa. Media Eropa memberi acungan jempol atas kreasi yang unik itu.
Bilamana dilihat dari sudut pandang plurisme budaya dan intrakultural, Sardono dengan kreasi itu telah membangun sebuah demokratisasi dalam kesenian. Menyebarkan gagasan kontemporer bagi seniman Bali, menambah wawasan akan pentingnya budaya lain untuk dipelajari dan dipahami. Masyarakat Bali bangkit dan terpicu oleh peristiwa itu. Mereka mengangkat bicara dan memberi kritik terhadap kreasi semacam itu. Melalui wacana itu apreasi masyarakat Bali makin meningkat mengenai makna pluralisme budaya dan gagasan seni kontemporer. Kini Sardono diterima sebagai warga masyarakat Bali dan menjadi panutan di desa Teges Kanginan. Mereka terus berkreasi dan tahun 1974 Sardono kembali mengemparkan Prancis dan Italia dengan karya seni berjudul Wanita dari Dirah. Karya itu diciptakan berdasarkan dramatari Calonarang Bali, dipentaskan oleh masyarakat Teges Kanginan dengan penari-penari kawakan dari Bali dan Jawa. Sardono tidak lagi mengalami masalah imigrasi, dan Listibiya memberi rekomendasi atas perlawatan mereka. Hal ini mempunyai arti bahwa kolaborasi seni membawa dampak positif terhadap kreasi seni yang berdasarkan plurisme budaya.

Mantle Hood, seorang ahli musik bangsa-bangsa dari Amerika Serikat mempelajari musik Jawa selama 2 tahun di Yogyakarta, dari tahun 1954-1956. Sesudah menyelesaikan Ph.D.nya di Amsterdam (Belanda), Mantle Hood kembali ke Amerika Serikat untuk membangun Institut Etnomusikologi di Universitas California at Los Angeles (UCLA). Sebagai Direktur dan dosen pada Institut itu, Mantle Hood mewajibkan mahasiswa yang mengambil M.A. dan Ph.D. dalam bidang Etnomusikologi mempelajari gamelan Jawa dan Bali sebagai bahasa musik yang ke dua. Untuk mengajar gamelan Jawa dan Bali pada saat itu, Mantle Hood mengundang Hardja Susilo dari Yogyakarta dan Cokorda Agung Mas dan I Wayan Gandra dari Bali. Sambil mengajar gamelan, Hardja Susilo disekolahkah oleh Mantle Hood dan kini dia menjadi guru besar musik di Universitas Hawaii. Semua mahasiswa doktoral tamatan UCLA mengembangkan gamelan Jawa dan Bali. Gamelan menjadi bagian kurikulum penting dalam mempelajari budaya lain di Amerika Serikat. Pada saat ini terdapat lebih dari 400 kelompok gamelan yang berkembang di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Jepang.

Hasil rumusan The First International Gamelan Festival and Symposium di Vancouver (Canada) pada tahun 1986, mencatat 6 (enam) jenis gamelan yang berkembang di luar negeri saat itu. Kelompok-kelompok itu adalah (1) Kelompok gamelan tradisional yang memainkan lagu-lagu tradisional maupun kreasi baru. Mereka menggunakan alat-alat gamelan tradisional seperti yang dilakukan oleh Kelompok Gamelan dari Wesleyan University, Sekar Jaya dan Gamelan Boston. Kelompok ini tertarik dengan pengalaman estetis dan keinginan untuk memahami nilai-nilai budaya lewat gamelan; (2) Kelompok yang menggunakan gamelan tradisional untuk memainkan komposisi baru berdasarkan musik kontemporer Barat dan menggunakan sekelumit konsep gamelan seperti ostinato dan struktur kolotomik, dipertunjukkan oleh gamelan Dharma Budaya dari Kyoto, dan Gamelan Son of Lion dari New York; (3) Kelompok yang menggunakan instrumen sejenis gamelan untuk memainkan komposisi modern berdasarkan alat-alat tradisional seperti gamelan Si Betty of San Jose State University; (4) Klompok yang menggunakan alat-alat baru menyerupai gamelan guna memainkan musik kontemporer seperti gamelan Pacifica of Seatle, the Berkeley Gamelan, dan the Bay Area New Gamelan; (5) Kelompok yang menggunakan segala peralatan bunyi untuk memainkan musik avangarde, seperti penampilan Banjar Gruppe Berlin dari Jerman; dan (6) Kelompok yang menggunakan instrumen musik Barat untuk memainkan komposisi baru dalam gamelan seperti komposisi oleh Claude Debussy, Colin McPhee, and Jose Evangelista.

Secara pribadi, saya memiliki juga pengalaman yang cukup unik dalam membangun interkultural dengan para ahli teater di Eropa dan Asia, dimana sejak tahun 1980-an saya bergabung dengan International School Theatre Anthropology (ISTA) yang didirikan oleh Eugenio Barba, membangun sebuah Eurosian Theatre, menggabungkan para penari dari India, Bali, Jepang, China dan Odin Teatret dalam menciptakan sebuah karya kreatif yang disebut Theater Mundi. Kegiatan berupa lokakarya dan pementasan berlangsung nomaden dari satu negara ke negara lain untuk mendekatkan diri dengan lingkungan setempat. Kegiatan yang semula berlangsung di Bergamo (Italia) berpindah tempat ke Denmark dan terakhir melakukan aktivitas di desa Londrina (Brasil).

Dewasa ini kolaborasi seni seperti di atas, makin banyak terjadi dan berbagai program diciptakan oleh komunitas-komunitas tertentu.I Wayan Dibia (Bali) dan Keith Terry (USA) berkolaborasi membangun Body Cak berunsurkan budaya Bali dan Amerika Serikat menyebabkan decak kagum penonton di Amerika Serikat dan Bali. Demikian pula kerjasama antara Putu Wijaya dan Fredrik deBoer di Wesleyan University dan pementasan-pementasan Putu Wijaya di La Mama New York menunjukkan betapa besar kontribusi teater Bali terhadap perwujudan pluralisme budaya. Edi Sedyawati dalam posisinya sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan pada tahun 1995 menciptakan sebuah kegiatan tiga tahunan yang dinamakan Art Summit Indonesia. Forum ini merupakan sebuah arena interkultural yang semakin waktu semakin melembaga dan kegiatannya meliputi kegiatan tari, musik, teater dan kini mengarah kepada pelibatan seni rupa. Seniman-seniman kaliber dunia berkumpul di Jakarta, mempergelarkan karya-karya puncak, membangun dialog, termasuk mendiskusikan kontribusi seni Indonesia di dunia internasional.
Di lain pihak dalam sekala mikro, barangkali dapat disebut sebagai upaya meberdayakan kantung-kantung budaya. Upaya memberdayakan kantung-kantung budaya dapat dipahami sebagai salah satu solusi untuk mengatasi benturan yang muncul, antara fungsi dengan kepentingan, antara yang horisontal dengan yang vertikal. Dengan kantung-kantung budaya yang didukung fasilitasnya, mereka akan menggerakkan seluruh potensinya untuk terus berkreasi, dengan harapan, suatu saat kelak meraih posisi (dan memiliki kekuatan posisi tawar) dalam ruang yang lebih luas.

Seni dipandang dari perspektif kebudayaan, akan terlihat kenyataan-kenyataan yang saling berhadapan, penuh paradoks, dan juga tegangan. Seni berada dalam tegangan dan hegemoni wacana maupun institusi internasional. Potensi terbangunya kesalingmengertian dalam seni, semestinya terus dieksplorasi secara optimal.
Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru semakin besar. Inilah paradoks dan tegangan yang menghiringi wacana tentang identitas (budaya). Di satu sisi terdapat gairah untuk masuk dalam arus dan percaturan internasional (yang diliputi oleh semangat menepis batas-batas geografis, idiologis, politis, etnis, bangsa), namun di sisi yang lain justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas dan lokalitas.

Yang perlu terus diperjuangkan adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus-menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global; antara yang tradisi dengan yang modern; dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya. Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bilamana menyikapi seluruh persoalan yang diuraikan di atas, bagi Indonesia sudah semestinya menciptakan “prisai protektif” aturan-aturan resmi dan dilaksanakan dengan pelaksanaan hukum yang jelas. Kesenjangan yang terurai dalam kaitan dengan demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan nilai-nilai budaya lainnya sudah sepatutnya dibuatkan berbagai peraturan yang bisa dipatuhi oleh anggota masyarakat sehingga kesenjangan dalam memahami, mempedulikan dan menghoramati nilai-nilai pluralisme budaya berjalan sesuai harapan bangsa. Sebuah harapan, hidup bersama dalam keberagaman budaya.

Yogyakarta, 14 Oktober 2003
I Made Bandem

apakah itu seni

SENI DAN APAKAH ITU SENI? Berbicara tentang pengertian seni, mungkin kita akan merasa sedikit bingung, karena terlalu banyak ahli yang mengartikan persoalan seni. Belum ada kesepakatan yang jelas mengenainya, karena tinjauan yang dipakai berbeda-beda. Sejauh ini, dari berbagai pernyataan tentang seni mengarah pada persoalan kesanggupan akal manusia baik berupa kegiatan rohani maupun fisik untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik(luar biasa), menggugah perasaan orang lain. Namun ada beberapa pengertian seni yang bisa kita jadikan sebagai acuan dalam mempelajari Seni itu sendiri. Yang pertama seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukan semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan ataupun karena dorongan spiritual (Everyman Encyclopedia). Kedua, seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia (dalam karya Ki Hajar Dewantara, bagian pertama: Pendidikan, Majelis luhur persatuan Taman Siswa, Yogyakarta,1962). Tiga Seni merupakan kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitet (kenyataan) dalam suatau karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani penerimanya (Akhidiyat Karta Mihaja,” Seni dalam pembinaan Kepribadian Nasional). Empat Seni merupakan alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya ( Thomas Munro,Evolution in the Art, The Cleveland Museum of Art, Cleveland,1963). Sedangkan seorang pelukis asal Indonesia S, Sudjojono mengatakan, seni adalah jiwo kethok. Enam Seni adalah karya manusia yang mengkominikasikan pengalaman-pengalaman batinnya; pengalaman batin tersebut disajikan secara indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan merupakan usaha melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiannya memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual (Soedarso Sp). Tujuh seni adalah sebagai transmission 0of feeling (Leo Tolstoy, What is Art?, Bob Merrill, Indiana polis , New york,1960). Delapan Seni merupakan imitasi atau realita tiruan dari alam/ilahi; Sembilan seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang ada dalam diri seniman (dikembangkan dari teori permainan oleh Frederich Schiller & Herbert Spencer). Dari berbagai pengertian tentang seni tersebut, kita bisa memilih salah satu arti seni dan menyimpulkan apa pengertian seni yang sebenarnya sebagai pedoman dan dalam proses penciptaan karya seni dan guna memahami arti seni. Tentunya hal itu tidak terlepas dari pengetahuan kita tentang seni sebelumnya. Hamka Agung Balya

mencari jati diri

mencari jati diri
aclyric on canvas. 150 x 100 cm.

ledakan jiwa

ledakan jiwa
aclyric on canvas. 200 x 150 cm.

kra'motak

kra'motak
media: campuran. 20x30cm.

iblis budaya

iblis budaya
aclyric on canvas. 50x40cm.

generasi terbelenggu

generasi terbelenggu
acllyric on canvas. 130x100cm.

nyanyian kaum urban

nyanyian kaum urban
acliric on canvas. 200 x 150 cm

my profil

Foto saya
jember, jawa timur, Indonesia
aku adalah aku, bukan kamu!